PERIHAL
1.
”AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil
memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. ”Lega
rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat
pengakuan juga.”Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dompetnya yang lecek dan kosong.
”Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
2.
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang miskin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar. ”Kelak, mereka pasti akan menjadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu menikmati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, ”Ceritakan kisah paling lucu dalam hidup kita…”
”Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan mereka.
3.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. ”Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin,” ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. ”Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. ”Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
4.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik padaku. ”Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. ”Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
”Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, ”Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Bertahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
5.
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kostumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap menghibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.
”Barangkali kemiskinan memang bukan hiburan yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan lapar, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.
6.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Setiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar melupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang miskin itu mengajak lapar bermain-teka-teki, untuk menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar datang bertandang.
”Hiburan apa yang paling menyenangkan ketika lapar?” Dan orang miskin itu akan menjawabnya sendiri, ”Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
7.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. ”Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. ”Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
”Wah, hebat banget!” ujarku. ”Semua kuliah, ya?”
”Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
8.
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang masih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. ”Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan mereka secara adil dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. ”Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
9.
Pernah suatu malam kami nongkrong di warung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka memanjakan diri menikmati kopi. ”Orang miskin perlu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, beginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya banyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sambil menepuk-nepuk pundakku. ”Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan penderitaan, yang bisa digunakan untuk membiayaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pelan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
10.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, berjalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihatnya tengah berusaha menyembunyikan isak tangisnya.
11.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. ”Jangan salah paham,” katanya. ”Aku sedih bukan karena aku miskin. Aku sedih karena banyak sekali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa kikuk dengan penampilanku yang perlente. Sejak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
12.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.
13.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, ”Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, ”Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. ”Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.
14.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. ”Beginilah enaknya jadi orang miskin,” katanya. ”Dituduh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia pelakunya. Dengan harapan ia kembali dipukuli.
15.
Banyak orang berkerumun sore itu. ”Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu tewas dipukuli. Ternyata bukan. ”Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Makanya ia memilih membakar diri.”
Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.
16.
Sepertinya ini memang lagi musim orang miskin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit hutang.
”Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. ”Hanya orang miskin gadungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. ”Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”
17.
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman saja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap saja kaget ketika orang miskin itu muncul di rumahku sambil menenteng telepon genggam.
”Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, ”Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
18.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu nama itu bertengger dengan gagah namanya, tempat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.
19.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang miskin. Ia suka keliling kampung, menenteng ponsel, sambil bersiul entah lagu apa. ”Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot mengemis dengan tampang dimelas-melaskan,” katanya. ”Buat apa? Toh sekarang kami sudah nyaman jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sambal terasi dan nasi -yang tambah sampai tiga kali- disantapnya dengan lahap. Sementara aku hanya memandanginya.
”Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. ”Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
20.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. ”Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, ”dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. ”Anda sudah sumbuh,” kata perawat, lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. ”Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.
21.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.
Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
22.
Suatu sore yang cerah, aku melihat orang miskin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sakinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
”Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bisik orang miskin itu pada istrinya, sambil menunjuk orang-orang yang sedang antre membayar dengan kartu kredit. Di kasir, orang miskin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tanda Miskin miliknya, ”Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.
23.
Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. ”Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. ”Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”
Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
24.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. ”Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.
25.
Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
”Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, ”mau mati saja pakai nipu.”
”Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”
”Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”
”Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Karena neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”
Orang-orang pun tertawa ngakak.
26.
Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya.
***
Jakarta-Singapura, 2009
BANUN
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turun-temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani, tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang kehandalannya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini belum terungkap rahasianya.
Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-banun yang lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.
***
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan diri untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.
”Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun Kikir tiada kunjung reda.
”Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu Nami, anak kedua Banun.
”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani,” bentak Banun.
”Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.”
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya, termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai penyempitan dari ”tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat ”ditahani” Banun, semakin kokoh ia berdiri sebagai orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani padi, tentu akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan ditanamnya, agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang tani.
***
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun, Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tumbuhan langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yang selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim ke musim hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam.
”Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
”Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan sorot mata sinis.
”Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.
”Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya. Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama. Tiga bulan setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai ajal datang menjemputnya.
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.
”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal belum, bukan?”
”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.
”Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.
Tanah Baru, 2010
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turun-temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani, tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang kehandalannya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini belum terungkap rahasianya.
Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-banun yang lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.
***
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan diri untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.
”Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun Kikir tiada kunjung reda.
”Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu Nami, anak kedua Banun.
”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani,” bentak Banun.
”Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.”
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya, termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai penyempitan dari ”tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat ”ditahani” Banun, semakin kokoh ia berdiri sebagai orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani padi, tentu akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan ditanamnya, agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang tani.
***
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun, Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tumbuhan langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yang selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim ke musim hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam.
”Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
”Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan sorot mata sinis.
”Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.
”Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya. Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama. Tiga bulan setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai ajal datang menjemputnya.
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.
”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal belum, bukan?”
”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.
”Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.
Tanah Baru, 2010
JURU MASAK
Perhelatan bisa kacau tanpa kehadiran lelaki
itu. Gulai Kambing akan terasa hambar lantaran racikan bumbu tak meresap ke
dalam daging. Kuah Gulai Kentang dan Gulai Rebung bakal encer karena keliru
menakar jumlah kelapa parut hingga setiap menu masakan kekurangan santan.
Akibatnya, berseraklah gunjing dan cela yang mesti ditanggung tuan rumah, bukan
karena kenduri kurang meriah, tidak pula karena pelaminan tempat bersandingnya
pasangan pengantin tak sedap dipandang mata, tapi karena macam-macam hidangan
yang tersuguh tak menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, tapi helat tak
bikin kenyang. Ini celakanya bila Makaji, juru masak handal itu tak dilibatkan.
Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan Gentasari dengan Rustamadji yang digelar dengan menyembelih tigabelas ekor kambing dan berlangsung selama tiga hari, tak berjalan mulus, bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai pria merasa dibohongi oleh keluarga mempelai wanita yang semula sudah berjanji bahwa semua urusan masak-memasak selama kenduri berlangsung akan dipercayakan pada Makaji, juru masak nomor satu di Lareh Panjang ini. Tapi, di hari pertama perhelatan, ketika rombongan keluarga mempelai pria tiba, Gulai Kambing, Gulai Nangka, Gulai Kentang, Gulai Rebung dan aneka hidangan yang tersaji ternyata bukan masakan Makaji. Mana mungkin keluarga calon besan itu bisa dibohongi? Lidah mereka sudah sangat terbiasa dengan masakan Makaji.
“Kalau besok Gulai Nangka masih sehambar hari ini, kenduri tak usah dilanjutkan!” ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.
“Apa susahnya mendatangkan Makaji?”
“Percuma bikin helat besar-besaran bila menu
yang terhidang hanya bikin malu.”
Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar, sehambar Gulai Kambing dan Gulai Rebung karena bumbu-bumbu tak diracik oleh tangan dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tak pernah keberatan membantu keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak atau orang biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji tak pilih kasih, meski ia satu-satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh Panjang. Di usia senja, ia masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap gesit meracik bumbu, masih kuat ia berjaga semalam suntuk.
“Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung ini, bagaimana kalau tanggungjawab itu dibebankan pada yang lebih muda?” saran Azrial, putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah saatnya Ayah berhenti,”
“Belum! Akan Ayah pikul beban ini hingga tangan
Ayah tak lincah lagi meracik bumbu,” balas Makaji waktu itu.
“Kalau memang masih ingin jadi juru masak,
bagaimana kalau Ayah jadi juru masak di salah satu Rumah Makan milik saya di
Jakarta? Saya tak ingin lagi berjauhan dengan Ayah,”
Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial. Tabiat orangtua selalu begitu, walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski sepahit empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang ia menimbang. Makaji memang sudah lama menunggu ajakan seperti itu. Orangtua mana yang tak ingin berkumpul dengan anaknya di hari tua? Dan kini, gayung telah bersambut, sekali saja ia mengangguk, Azrial segera memboyongnya ke rantau, Makaji tetap akan punya kesibukan di Jakarta, ia akan jadi juru masak di Rumah Makan milik anaknya sendiri.
“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
“Kenduri siapa?” tanya Azrial.
“Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang
orang. Sudah terlanjur Ayah sanggupi, malu kalau tiba-tiba dibatalkan,”
Merah padam muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis Mangkudun kalau bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab hengkangnya ia dari Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak perempuan tunggal babeleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di Lareh Panjang, ia dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini miliknya. Sejak dulu, orang-orang Lareh Panjang yang kesulitan uang selalu beres di tangannya, mereka tinggal menyebutkan sawah, ladang atau tambak ikan sebagai agunan, dengan senang hati Mangkudun akan memegang gadaian itu.
Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat dari akademi perawat di kota, tak banyak orang Lareh Panjang yang bisa bersekolah tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial itu benar-benar akan menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial bukan siapa-siapa, hanya tamatan madrasah aliyah yang sehari-hari bekerja honorer sebagai sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan loyang perbedaan mereka.
“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak juru masak!” bentak Mangkudun, dan tak lama berselang berita ini berdengung juga di kuping Azrial.
“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggungjawab. Renggo yakin kami berjodoh,”
“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau
berjodoh dengan Azrial. Akan saya carikan kau jodoh yang lebih bermartabat!”
“Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?”
“Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki
itu jadi suamimu. Paham kau?”
Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah
tak berbatu, seperti sawah tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tapi
tidak patut rasanya Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan
berat hati Azrial melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa
luka hati. Awalnya ia hanya tukang cuci piring di Rumah Makan milik seorang
perantau dari Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit
demi sedikit dikumpulkannya modal, agar tidak selalu bergantung pada induk
semang. Berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini
sudah jadi juragan, punya enam Rumah Makan dan duapuluh empat anak buah yang
tiap hari sibuk melayani pelanggan. Barangkali, ada hikmahnya juga Azrial gagal
mempersunting anak gadis Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai
orang Lareh Panjang paling sukses di rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa
Makaji ke Jakarta. Lagi pula, sejak ibunya meninggal, ayahnya itu sendirian
saja di rumah, tak ada yang merawat, adik-adiknya sudah terbang-hambur pula ke
negeri orang. Meski hidup Azrial sudah berada, tapi ia masih saja membujang.
Banyak yang ingin mengambilnya jadi menantu, tapi tak seorang perempuan pun
yang mampu luluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni,
atau jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.
Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam ditembakkan ke langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka peninggalan sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang menggelar kenduri bukan orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang dipertontonkan. Para tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna menyambut kedatangan mempelai pria. Para pesilat turut ambil bagian memeriahkan pesta perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh Panjang itu. Maklumlah, menantu Mangkudun bukan orang kebanyakan, tapi perwira muda kepolisian yang baru dua tahun bertugas, anak bungsu pensiunan tentara, orang disegani di kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah banyak membantu laki-laki itu, sejak dari sebelum ia lulus di akademi kepolisian hingga resmi jadi perwira muda. Ada yang bergunjing, perjodohan itu terjadi karena keluarga pengantin pria hendak membalas jasa yang dilakukan Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan atas dasar hutang budi.
Mangkudun benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan carikan jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih bermartabat. Tengoklah, Renggogeni kini tengah bersanding dengan Yusnaldi, perwira muda polisi yang bila tidak ‘macam-macam’ tentu karirnya lekas menanjak. Duh, betapa beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tapi, pesta yang digelar dengan menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh ekor kambing itu tak begitu ramai dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang hanya datang di hari pertama, sekedar menyaksikan benda-benda pusaka adat yang dikeluarkan untuk menyemarakkan kenduri, setelah itu mereka berbalik meninggalkan helat, bahkan ada yang belum sempat mencicipi hidangan tapi sudah tergesa pulang.
“Gulai Kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.
“Kuah Gulai Rebungnya encer seperti kuah sayur
Toge. Kembung perut kami dibuatnya,”
“Dagingnya keras, tidak kempuh. Bisa rontok gigi awak dibuatnya,”
“Dagingnya keras, tidak kempuh. Bisa rontok gigi awak dibuatnya,”
“Masakannya tak mengeyangkan, tak mengundang
selera.”
“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”
Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria diam-diam juga kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan menu masakan yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer dan daging yang tak kempuh. Padahal mereka bersemangat datang karena pesta perkawinan di Lareh Panjang punya keistimewaan tersendiri, dan keistimewaan itu ada pada rasa masakan hasil olah tangan juru masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Makaji?
“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu mereka bertanya-tanya.
“Sia-sia saja kenduri ini bila bukan Makaji
yang meracik bumbu,”
“Ah, menyesal kami datang ke pesta ini!”
Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji, datang dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu sudah berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan hari tua di dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang telah kehilangan juru masak handal yang pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga ke telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan betapa terpiuh-piuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar kekasih pujaannya telah dipersunting lelaki lain.
http://damhurimuhammad.blogspot.com/2008/01/juru-masak-cerpen-damhuri-muhammad.html
Assalamualaikum Wr. Wb.
Cerpen di bawah ini bisa dibiang murni buatkanku sendiri untuk pertama kalinya. Menceritakan seseorang yang memilki kekuatan yang tidak biasa dalam pikirannya. Hingga pada suatu hari ia pergi ke dunia lain. Bagaimanakah perjalanannya menapaki dunia barunya, simaklah !
Dunia yang Lain dari Dalam Diriku
Topik : Magis
Imam Zainudin/XI-IBB/08
Jilatan sinar matahari di ufuk timur menghangatkan kala itu.
Seperti biasanya, Lorns bernyanyi – nyanyi memamerkan suara emasnya untuk
membangunkan seisi rumah yang tengah terlelap.
Pagi ini dan pagi – pagi sebelumnya, bangunku tak pernah sepagi
Lorns. Malah Lornslah yang selalu bangun lebih pagi dan membangunkanku, seperti
pagi tadi. Aku pernah berpikir, mengapa ia selalu melakukan hal itu di setiap
pagi. Apa dia lapar, hingga ia selalu berisysarat seperti itu untuk mendapatkan
sepiring sarapan. Atau karena dia jail? Itu tak pentinglah, yang aku syukuri
dengan kebiasaan Lorns. Ia selalu membuatku bangun di setiap pagi dengan
nyanyian – nyanyiannya. Alhasil aku tak pernah terlambat datang ke sekolah.
Masakan ibuku telah tersaji lengkap di atas meja makan. Nafsuku
tak tertahan lagi ketika kedua bola mataku bergerak dengan sempurna dari ujung
meja menelusuri setiap mangkuk dan piring. Sontak meleleh air liurku memenuhi
rongga mulutku yang mungil. “Papa ! Ran ! Paha ayamnya aku makan !” teriakku
berharap mereka segera turun dan sarapan bisa segera dimulai. Aku, Adik, dan
Papa memang sering sekali berebut hal – hal yang kami sukai bersama. Walaupun
jumlahnya cukup untuk kami bertiga. Pastilah kami tetap berebut yang paling
terbaik untuk diri kami sendiri.
“7.40. Masih ada waktu. Jika aku mampir beli roti croissant, tepat pukul 8 aku tiba di
sekolah. Tidak ada 5 menit tersisa untukku bersiap diri memulai pelajaran,
seperti biasanya. Bagaimana menurutmu Lorns?” suasana menjadi hening. Bukannya
aku menunggu jawaban dari Lorns. Aku hanya sedang berpikir, mana yang harus aku
pilih. Aku pun sudah tahu, Lorns tak kan pernah menjawab pertanyaanku. Seperti 2
tahun terakhir sejak aku mulai terbiasa untuk bercerita pada Lorns. “Ya ! Aku akan
beli roti croissant, lalu aku
bergegas menuju sekolah”. Kupercepat langkah kakiku meninggalkan Lorns yang
tengah asyik jalan berkeliling halaman depan rumahku.
Toko roti bergaya Eropa kuno. Di pojok jalan bersebelahan dengan
sebuah gereja dan halte bus. Di sini aku akan membeli roti favoritku. “Ini uangnya,
Pak. Terima kasih.” ku lanjutkan perjalananku. Harum roti croissant yang baru matang, tak ada yang mampu menandingi.
Sebenarnya bau harum inilah yang membuatku terpikat pada roti asal Eropa ini.
Aku bisa membayangkan bagaimana reaksi Ran dan Papa ketika di tangan kananku, kubawa
sebuah roti yang juga favorit mereka. Aku merasa menang saat ini. “Wajar saja
kalau aku tertawa jahat sekarang” pikirku dengan sedikit senyum tersimpul dalam
bibirku. “Ah, aku juga tak sejahat itu. Pulang sekolah nanti akan kubelikan 3
buah, untukku, Papa, dan Ran. Dan kubelikan roti susu untuk ibuku.”
Tepat waktu kududuk di kursi kelas. 5 detik berselang Bu Marshall
masuk kelas dan memulai pelajaran. “Fiuuh” kuhembuskan nafas sedalam –
dalamnya. Kutarik nafas, kukeluarkan perlahan. Tarik nafas, kukeluarkan
perlahan – lahan. Nafasku mulai teratur setelah marathonku dimulai saat kutemui
jam tanganku telat 2 menit dari perkiraanku. “Sudahlah, bersyukur aku tidak
sampai masuk kelas setelah Bu Marshall. Lain kali aku akan berangkat lebih pagi
jika hendak membeli roti croissant. Kupastikan
itu, janji.” menenangkan diri.
Bu Marshall mulai menuliskan angka – angka di atas papan.
Keluarlah kitab bergaris kotak – kotak juga bertuliskan angka – angka dari
dalam tas hitamku. Aku bukan tergolong anak yang “tidak bisa”. Jika aku aku digolongkan anak – anak
yang pintar, aku rasa juga tidak tepat. Liam, Farel, Rachel, Angelina, Briyant,
Rick, dan Sam. Merekalah yang kuanggap terbaik. Hanya Alex pikirku, dia sangat
aktif berdialog saat pelajaran di kelas, teori yang berputar dalam otaknya
bagai pohon jeruk yang tengah berbuah lebat nan ranum. Siap petik, dan jadi. Louis,
Rafael, Smith, Max, Greg, Marcell, Witson, Theo, dan Sabrine. Mereka yang aku sebut
sebagi ombak. Mereka mampu sampai di daratan pesisir. Tapi kadang mereka juga
hanyut di lautan. Caroline, David, dan Miranda (itu aku), “mereka yang
terombang – ambing” kataku. Terhempas dan sampai di daratan. Tidak lama lagi
kembali ke lautan. Seperjuangan “ya, bisa dikatakan demikian”.
Bu Marshall, “Sekitar tahun
1950-an Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina
van Hiele-Geldof… Berikut ini adalah contoh sederhana mengenai pembelajaran
materi segitiga sesuai tahap berpikir van Hiele…” terangnya. “Mm.. Haruskah kita mempelajari ini?
Bukankah wajar seseorang berpendapat.” “Andai setiap orang di kelas ini
memiliki bakat yang luar biasa. Alex, seorang yang super jenius dari Desa Mughrime.
Ia mampu meracik segala ramuan untuk obat dan mampu merubah sesuatu menjadi hal
yang berbeda. Dengan bantuan kepalanya yang besar tidak sulit melakukan hal
tersebut. Dengan hidungnya yang besar, tidak akan sulit ia menemukan bahan –
bahan ramuan. Liam dengan kepalanya yang lebih besar dari yang
lain, membuat perhitungannya begitu akurat. Farel dengan hidungnya yang sangat
mancung, segala jenis benda tidak akan bisa kau sembunyikan darinya selama
benda itu tercium baunya. Angelina dengan kacamata besar dan lensanya yang
tebal, membuatnya begitu cermat mengamati sesuatu dengan cepat. Briyant dengan
insting “mencari” yang hebat dan kaki kuatnya yang besar, membuat
pergerakkannya gesit dan lincah. Rick, Sam, dan Rachel, mereka yang selalu
kompak dan banyak cara kreatif untuk
menciptakan sesuatu.”
Desa Mughrime, desa
penuh teka – teki untuk orang biasa. Dimana logika dan ilmu – ilmu pasti dalam
dunia manusia seharga batu krikil. Dimana kebebasan, keadilan, dan kasih sayang
kental, sekental kopi tubruk. Serupa batman, gorilla, goblin, elf, sentaur,
smurf, hingga peri – peri mungil, merekalah khalifah di Desa Mughrime. Di atas
bukit yang membagi desa menjadi beberapa distrik, berdirilah kemaharajaan
penduduk Desa Mughrime. Kastil Mughrium berdiri di atas sebidang tanah yang
melayang di atas puncak bukit. Sebuah kastil dengan pancaran kemilau cahaya
kehangatan dan ketentraman, warna – warni cahaya membentuk jalan dari pintu
gerbang menuju desa di bawah kastil. Sebuah jalan penghubung yang hanya bisa
dipijaki penduduk desa atas titah dari Maharaja Moren Lopts. Puncak kastil tinggi
menjulang, tidak ada yang tahu dimana ujungnya. Konon kabarnya, di puncak
sanalah ada sebuah daratan. Dimana hidup penjaga kastil, sang Ksatria Naga.
Kemampuannya terbang, melayang, menyelam, berenang, hingga kepekaan mendengar
dan melihat, dialah ahlinya.
Desa Maandromor, sama
seperti halnya Desa Mughrime. Desa penuh teka – teki untuk orang biasa. Dimana
logika dan ilmu – ilmu pasti dalam dunia manusia seharga batu krikil. Serupa voldemort
dan semua pengikutnya dalam cerita Harry
Potter. Merekalah yang kemudian disebut
sebagai penduduk Desa Maandromor. Penindasan adalah darah bagi kehidupan
mereka, serakah merupakan jantung bagi mereka, dan penderitaan adalah misi
mereka hidup. Selama ini mereka hidup dari desa – desa yang menjadi target serang
mereka. Yaitu desa yang begitu makmur, damai, dan sejahterah. Desa dengan
kehidupan yang bertolak dari mereka. Kebebasan, keadilan, dan kasih sayang. Hal
yang tidak mereka akui adanya. Desa Murnmear, Desa Miflohrm, Desa Mehnsrhi, dan
berjuta kebahagiaan penduduknya. Adalah korban dari kebengisan mereka. Bahkan
dengan jarak yang sangat jauh dan benteng pertahanan yang sangat kuat, berhasil
penduduk Maandromor runtuhkan demi misi mereka, penderitaan.
Maharaja Morar,
“dengan jatuhnya Desa Mehnsrhi ke tanganku akan semakin jaya Maandromor.
Apalagi angkatan perang Mehnsrhi merupakan salah satu yang terkuat dan
tertangguh. Bertambahnya angkatan ahli perang Mehnsrhi ke dalam Maandromor,
dunia kegelapan akan menjadi dunia baru. Dan akulah pemimpin dunia baru itu.” pidatonya
terhadap pasukan yang ia mimpin atas kemenangannya tersebut. “kemana akan kita
bawa Desa Maandromor ini, Baginda? Setelah kemenangan yang kita raih atas desa
– desa taklukan kita, tak kan sulit untuk desa berikutnya.” tanya Moxert, kaki
tangan setianya. Maharaja Morar,
“…................................................................”.
Desa Mughrime,
penduduk desa memang sulit menuju ke dalam kastil untuk menemui raja. Mereka
hanya mampu memandangi dengan takjub kemegahan Kastil Mughrium dari distrik
dimana mereka tinggal dan berkarya. Tetapi mereka mengenal benar siapa pemimpin
mereka, siapa orang yang selalu melindungi mereka di garis terdepan, orang yang
berjasa dengan kebahagiaan mereka. Maharaja Moren Lopts. Dia, orang yang
merelakan sebagian penglihatannya di renggut. Demi rakyat yang ia pimpin. Tapi
tidak untuk Pangeran Zainim. Putra mahkota yang akan memimpin kerajaan
menggantikan ayahandanya yang telah memerintah sekitar satu milenium lamanya.
Tidak ada satu pun penduduk yang mengetahui bahwa Pangeran Zainim adalah seorang
putra mahkota. Mereka hanya mengetahui bahwa Maharaja Moren memiliki seorang
anak laki – laki. Alhasil, ketika ia masih sepertiga dari ayahandanya dalam
beberapa kesempatan ia sering melihat ke bawah dan mengamati segala aktivitas
rakyat. Dan tidak jarang juga ia mencoba kabur walau pada akhirnya berhasil
ditemukan. Ia mampu turun langsung ke desa. Tapi ia tak mampu kembali tanpa
seizin ayahandanya, karena kastil dan desa hanya terhubung dengan jalan cahaya
penghubung yang akan nampak dengan izin Maharaja Moren. Tindakan tersebut wajar
ia lakukan. Bagaimana ia tidak melakukan hal tersebut, jika di dalam kastil
ialah yang paling kecil, tidak ada lagi seseorang yang seumuran dengannya
ditambah lagi ia tak pernah mengetahui bagaimana Mughrime itu. Usia Pangeran
Zainim beranjak dewasa, begitu pula bagaimana ia menyikapi aturan yang ada.
“Pasti ada alasan yang kuat mengapa ayahanda hingga melarangku demikian,”
pikirnya.
Tepat hari ini ialah
perayaan satu milenium Maharaja Moren. Seluruh makhluk penduduk Mughrime
bersuka cita, karena hari ini juga sebuah perayaan bagi mereka. Mereka semua
berkumpul mengitari bukit. Menunggu sang Raja Moren turun dari singgasananya.
Maharaja Moren akan berpidato di depan seluruh rakyatnya. “Rakyat kebanggaanku
! Mughrime inilah tempat kita diciptakan. Di sinilah kita hidup. Dan di sinilah
kita mati. Tapi Mughrime tak akan pernah mati selama kita, penduduk Mughrime
tetap hidup, untuk berjuang. Untuk kejayaan Mughrime !” dengan mengepalkan
tangan ke atas. Tanpa dipandu, rakyat pun ikut mengepalkan tangan dan ke atas “Mughrime
! Mughrime ! Mughrime ! hidup Maharaja Moren !” dengan semangat yang serentak
mereka bersorak.
Tembakan kembang api
dari pintu gerbang desa membumbung di udara “X”. Itu berarti bahaya. Suasana
menegang dan semua orang tampak kebingungan terhadap tanda tersebut. Selama Maharaja
Moren naik tahta. Kata bahaya, ketakutan, dan kekerasan tak pernah terucap
lagi. Datang segerombolan lebah dari kejauhan. “Ada wabah macam apa ini, hingga
begitu banyak lebah datang ke Desa Mughrime.” kata Briyant. “Baginda, itu
serangan.” terang Angelina. “Benarkah?”
Gerombolan semakin
dekat dan jelas. “Dimingerti, merekalah Maandromor dengan sejuta kebengisan
mereka.” kata Zainim. “Apa maksud mereka? Bertindak sekenanya.” kata Caroline.
Kedamaian Mughrime kini terancam oleh Maandromor. Ribuan serangan mantra sihir
menyerang wilayah Mughrime. Ladang – ladang dan hijuanya hutan berubah menjadi
ayam – ayam jago merah membara. Muncullah begitu banyak hewan bertanduk seperti
badak tetapi melata bagai ular. Ketika cahaya hitam Moxert keluar dari jari
telunjuknya. Makhluk tersebut menyerang dengan ganasnya. Ia tak kenal ampun
untuk merusak dan membunuh. Perang tak mampu dihindari. Ksatria Mughrime
terbang mengejar mereka yang mengacau. Baku tembak mantra sihir terjadi di
langit Mughrime. Langit yang tadi cerah merayakan satu milenium Maharaja Moren,
berubah mendung kelabu. Maharaja Moren geram menyaksikan apa yang terjadi. Tapi
ia tidak sedikit pun terkejut. Seolah ia mengetahui sebuah ramalan bahwa ini
memang akan terjadi. Lalu ia memerintahkan seluruh penduduk terutama wanita dan
anak – anak, untuk naik ke dalam kasti.
Tak lama, seberkas
cahaya menyilaukan seluruh Mughrime hingga peperangan sempat terhenti beberapa
detik. Cahaya menghilang, begitu pula penduduk Mughrime. Sedangkan para ksatria
terus berjuang dengan apa yang ia bisa lakukan. Briyant, ksatria hebat sedang
berlaga. Ia sungguh menikmati peperangan ini. Ia mampu menyalurkan energi besar
yang ia miliki dalam peperangan ini. Ia gesit melocat dalam medan. Musuh –
musuh berguguran tertimpa injakan telapak kaki Briyant. Tapi ganas dan
brutalnya serangan Maandromor, hingga kekuatan Briyant pun bukan hal yang
besar.
Di dalam kastil
Maharaja Moren bergegas memakai baju zirah dan sebuah pedang yang perkasa ia
raih, “Ayahanda, aku ikut denganmu,” kata Pangeran.
“Tidak ! Kau tetap di
sini. Dalam kastil ini.” perintah tegas sang Raja.
“Tidak ayahanda,
izinkan aku ikut denganmu untuk kali ini.”
“Kataku tidak ! Kau
tidak seharusnya ikut berperang di sana, akan lebih rumit. Kau di sini dan jaga
rakyatku untuk Mughrime.”
jelasnya dengan tetap tidak mengizinkan Pangeran. Maharaja Moren melangkah
meninggalkan Pangeran.
“Apa aku bagian
dari Mughrime?” langkah sang Raja terhenti. “Apa benar aku bagian dari Mughrime?
Apa aku masih menjadi bagian dari Mughrime ketika aku melihat dengan jelas di
bawah sana rakyat berjuang mempertaruhkan jiwa raganya untuk Mughrime.
Sedangkan aku hanya berdiam diri di sini tidak berbuat apa pun untuk Mughrime.”
Raja tertegun dan
membalikkan badan. Ia mendekati putrnya. “Jika kita bersama – sama pergi ke
medan pertempuran. Dan berjuang mempertahankan Desa Mughrime. Lalu siapa yang
akan menjaga dan melindungi panduduk Mughrime?”
“Mereka akan aman
di dalam kastil ini. Tidak akan ada yang bisa bahkan untuk mendekati kastil ini
saja.” sanggahnya.
“Kau kelak akan
menjadi pemimpin Mughrime,
kau harus bijak, yang harus kau jaga bukan hanya Desa Mughrime saja, tetapi
penduduk Mughrime juga. Kau harus tetap di sini,”
“Apa Ayahanda
meragukanku?”
“Apa maksud dari
perkataanmu?”
“Ayahanda melarangku
untuk ikut berperang dalam medan perang. Ayahanda selalu melarangku untuk ikut
mengurusi Mughrime,
memperjuangkan dan membela Mughrime di garis terdepan. Apa ayahanda benar –
benar tidak percaya padaku?”
“Bukan demikian,
Zain.”
“Apa aku benar
bagian Mughrime? Apa Ayahanda memang meragukanku? Apa aku lemah? Pertanyaan itu
yang selalu aku pikirkan dalam berabad – abad. Dan itu menyiksaku, Ayah. Apa
ayah masih menganggapku anak kecil?”
“Tidak ! Kau
salah,”
“Lalu apa? Baiklah
akan aku buktikan padamu. Bahwa aku tak selemah yang kau pikir
!”
Lalu Pangeran raih
pedangnya, dan menyerang ayahnya sendiri. Mughrime diambang kehancuran, mencoba mempertahankan
wilayahnya dari serangan Maandromor. Di sisi lain, di dalam kastil, sang
Pangeran dan sang Raja ikut bertempur.
Ada yang aneh dengan
Pangeran. Ia tidak mengerti mengapa ia terus menyerang ayahnya sendiri. Hawanya
begitu dingin, kedua matanya memancarkan cahaya kegelapan.
“Kau bukan anakku !”
“Apa yang kau katakan
Moren?”
Mereka berdua tetap
melanjutkan duel tersebut. Permainan pedang mereka sangat imbang.
“Morar ! Kau yang
merubah anakku menjadi seperti ini. Keluar kau dari tubuh anakku !”
“Hahah.. Kau ingat
aku?”
“Mengapa kau
melakukan ini semua? Bukankah dulu kita teman sejati?”
“Kau yang membuatku
seperti ini. Kau yang mengambil Laurent dariku.”
“Itu hanya masa lalu.
Aku bisa jelaskan semua.”
“Tidak perlu. Aku
akan mengakhiri ini semua saat ini juga”
Pangeran Zainim tak
sebanarnya ia. Tubuhnya telah dikendalikan oleh Morar. Raja yang menguasai
Maandromor. Raja yang keji dan bengis.
Sayangnya, sang Raja
Moren sangat terdesak. Kemampuan Pengeran yang pandai bermain pedang, semakin
hebat karena tambahan kekuatan Morar.
Tak mampu lagi sang
Raja bertahan melawan serangan Pangeran dan Morar. Hulusan pedang Pangeran
tersambar di lehernya. Raga sang Raja pupus terbawa angin. Begitu pulalah Mughrime. Cahaya jatuh dalam kegelapan.
Bu Marsall,
“Miranda sedang apa kamu ?” teriaknya. Membangunkan segala bayangan darinya.
“Maaf Bu”. Dalam hati Miranda “Ah, sayang sekali, mengapa ceritanya berakhir
demikian. Nanti akan aku ceritakan pada Lorns”
Wassalamualaikum Wr. Wb.