Background

Mengonversi (mengalihwahanakan) Cerpen Menjadi Naskah Drama



KUCING


ketika suara azan magrib terdengar, saya tepat sampai di depan rumah. Menantikan saat – saat buka.
Bapak : Bulan Puasa, itulah saat saya merasakan nasi adalah nasi, pisang goreng benar-benar pisang goring, teh kental manis panas lebih indah dari rubayat-rubayat Umar Khayyam, dan kehidupan, betapa pun rewelnya adalah sebuah puisi.

Ketika di rumah.
Bapak : Saya baru ingat, istri dan anak saya ada janji berbuka di rumah saudaranya. Dan saya tidak melihat ada sesuatu di atas meja makan. (kecewa) Harusnya saya tidak usah buru-buru pulang. Makan saja di warung sate kambing muda di Cirendeu.
Dengan kesal saya lemparkan buku-buku ke atas meja. Saya kenakan kembali sepatu. Siap mengganyang bebek goring sendirian di PIM.
Tapi ketika mau menutup pintu, saya dengar ada suara kuncing mengeong. Dengan hati-hati saya kembali masuk rumah. Saya temukan kucing tetangga mengeong di dapur, seperti menunjukkan, “di situ, di situ”.
Bapak : Kamu mau apa, Cing ? (membuka almari)

Begitu daun almari terbuka, hidung Bapak diterjang bau ikan bakar reca-reca yang sedap sekali. Bapak lihat juga ada termos dan gelas kosong dengan bubuk teh tarik sasetan di dalamnya. Tinggal diseduh saja.
Kucing : Ngeong, (nyeletuk) seperti mengatakan. Nah ya kan?!
Bapak : Nikmatnya. (tendangan rasa teh berlipat ganda ditambah dengan musuh yang serasi: singkong) Oke, aku tidak jadi marah, mari kita nikmati hidup ini!

Setelah puas menyantap teh dan singkong, Bapak siap mengganyang ikan bakar reca-reca, untuk menghargai karya istri itu. Tapi begitu menoleh, Bapak terperanjat. Reca-reca itu sudah lenyap.
Bapak : Bangsat! (dengan emosi meluap - luap)
Kucing itu terkejut, dia caplok ikan itu untuk dibawa kabur. Tangan saya menyambar buku, lalu menembak, tepat mengenai badannya. Begitu geramnya, Bapak memukulnya. Kena. Lalu Bapak tendang dia ke halaman, piaraan tetangga itu ngibrit lari menyebrang jalan menuju ke rumah tuannya.
Pagi-pagi ada kejutan lagi. Pak RT berkunjung ngajak ngomong serius.
Pak RT : Saya kira pada bulan Ramadan ini, kita semua harus bisa menahan diri, Pak,
Bapak : Maksud Pak Haji?
Pak RT : Saya mendapat komplin dari Pak Michael, tetangga Bapak, Bapak sudah menzalimi mereka.
Bapak  : Menzalimi bagaimana?
Pak RT : Beliau terpaksa membawa kucingnya ke dokter, karena Bapak pukul. Apa betul?

Bapak  : O, ya, kalau itu betul
Pak RT : Maaf, Bapak mungkin tidak suka dengan kucing, tapi Pak Micahel itu lebih sayang pada kucing daripada anak-anaknya sendiri.

Bapak  : O begitu?

Pak RT: Ya. Jadi saya kira, Bapak mengerti kenapa beliau sangat shock oleh kejadian ini. Untung tidak perlu operasi. Tapi sekarang kucingnya pincang, Pak.

Bapak  : Masih untung hanya pincang, kucing itu mestinya harus mati karena makan reca-reca saya yang disiapkan untuk buka.

Pak RT: Namanya juga kucing, Pak. Makanya jangan meletakkan makanan terbuka di meja.

Bapak  : Dia curi dari almari!

Pak RT: Apa kucing bisa membuka almari, Pak?

Bapak  : Ya kebetulan pintunya saya lupa tutup.

Pak RT: Ya kalau pintu lupa ditutup, itu bukan salah kucingnya, Pak.

Bapak  : Salah siapa? Salah saya?

Pak RT: Kucing itu binatang, Pak, tidak bisa disalahkan. Kita yang memiliki kesadaran yang bersalah.

Bapak  : Wah itu tidak adil! Kalau ada pencuri mencuri barang saya, meskipun saya lupa mengunci almari, pencuri itu harus dihukum, karena perbuatan mencuri itu melanggar hukum!

Pak RT: Memang begitu, Pak.

Bapak  : Terus Pak RT mau nyuruh saya ngapain? Minta maaf sama Pak Michael karena saya sudah memukul kucingnya? Tidak! Terima kasih. Kalau disuruh membayar perawatan kucing itu ke dokter, saya bayar, tapi kalau minta maaf, sorry, itu bukan gaya saya, bukan salah saya kan?!

Pak RT: Memang itu maksud beliau.

Bapak  : Apa?

Pak RT: Beliau menuntut Bapak mengganti ongkos berobat kucingnya. (pak RT merogoh saku dan mengeluarkan kuitansi).

Bapak terperangah. Minta ampun. Jumlah yang ada di dalam kuitansi itu membuat istri saya ikut terbakar.

Istri      : Kami bukannya tidak punya duit Pak RT (kata istri saya yang memang cepat naik darah) tapi ini soal keadilan. Masa kami disuruh mengongkosi kucing ke dokter padahal binatang itu sudah mencuri reca-reca suami saya? Itu keterlaluan. Kalau perlu ke pengadilan, kita ramein di pengadilan sekarang supaya jelas! Kita ini masih negara hukum kan?!

Pak RT: Baiklah, demi menjaga ketenteraman kita bersama dan agar tidak merusakkan kekhusukan bulan Ramadan, saya carikan jalan tengahnya. Begini. Biarlah ongkos perawatan kucing itu, saya yang menanggung. Tapi izinkan saya untuk mengatakan kepada Pak Michael, semua itu dari Bapak. Jadi hubungan keluarga Pak Michael dan keluarga Bapak-Ibu di sini tetap terpelihara. Bagaimana kalau begitu?

Bapak  : Kenapa jadi begitu, Pak RT?

Pak RT: Ya sebagai RT saya merasa bertanggung jawab untuk mengusahakan perdamaian di antara warga.

Bapak dan istri bisik-bisik.

Bapak  : Kalau sampai pak RT yang bayar, rasanya kami malu juga (berbisik)

Istri      :Memang. Habis Pak RT terlalu baik sih. Seperti nabi saja (balas istri)

Istri      : Jadi kami bayar saja?

Bapak : Ya sudahlah, demi Pak RT, biar tidak berkepanjangan!

Akhirnya ongkos kucing itu ke dokter mereka bayar kontan. Jumlah yang cukup besar, tapi tak pernah Bapak sesali. Sebab sejak saat itu, kucing itu tidak pernah lagi berani masuk ke dalam rumah Bapak. Apalagi mencuri. Kalau lewat, dia terus saja berjalan lempeng, tak sudi atau tak berani menoleh. Kakinya yang pincang itu sudah membelajarkan dia untuk menghormati hak saya, sekali pun dia hanya binatang.

Bapak : Jadi kalau ada kucing lewat dekat rumah, tidak peduli kucing siapa. usir saja! (kata Bapak mengindoktrinasi anaknya yang baru berusia 5 tahun).

Anak    : Kenapa?

Bapak : Karena kalau dibiarkan, dia akan jadi maling! Paling tidak berak seenaknya. Kamu tahu sendiri kan, kotoran kucing itu bau, sulit hilang!

Anak    : Kalau nggak mau?

Bapak : Hajar dengan batu!

Anak    : Semua kucing?

Bapak : Tidak semua kucing jahat. Tapi kita tidak ada waktu untuk menyeleksi mana yang jahat mana yang bjaksana. Pukul rata saja, semuanya maling.

Anak    : Kenapa?

Bapak : Seperti kata George Washington, hanya senjata yang bisa dipakai untuk menjaga perdamaian.

Anak    : Kenapa?

Bapak : Karena hanya kekerasan yang akan bisa mencegah kekerasan. Biar pintu terbuka, almari lupa ditutup, kucing itu tidak akan berani lagi masuk, karena dia terpaksa menghormati kita. Dia pasti tidak akan mau lagi mengeluarkan Rp 200 ribu untuk mengobati kakinya yang satu lagi, karena Bapak akan mematahkan kakinya yang satu lagi.

Istri      : Jangan mengajari anak kamu kejam! (protes)

Bapak : Lho, hidup ini sudah kejam. kok. Kalau kita tidak ikut kejam, kita akan selalu jadi sasaran. Sebenarnya ini bukan kekejaman, tetapi ketegasan saja. Supaya tidak ada peluang orang lain untuk kejam terhadap kita, kita harus tegas. Kita tunjukkan kita bisa kejam!

Istri      : Itu kan teori kamu!

Bapak : Boleh dites, tapi itu berarti kita harus masak reca-reca lagi!

Istri bapak melengos tak menanggapi. Tapi dia perempuan yang baik. Sehari setelah Bapak sambat, ikan reca-reca itu sudah menanti di atas meja menjelang waktu – waktu buka.

Istri      : Lihat kucing itu sudah bengong di situ!” (menunjuk keluar jendela) Nggak bakalan ada kapoknya. Namanya juga binatang!

Bapak : (ngintip) itu jelas akting. Dia pasti sudah mengendus bau reca-reca yang sudah sempat membuat kakinya pincang.

Istri      : Tutup jendelanya, Pak!

Bapak : Tidak usah. Ini saatnya untuk melihat apa rumah kita ini masih dia hormati?!

Sebaliknya daun jendela Bapak kuakkan lebar-lebar. Pintu dibuka. Bapak berpura-pura tak menyadari kehadiran kucing itu. Ikan reca-reca itu Bapak pajang di atas meja di teras, tanpa ditutupi. Bapak ingin membuktikan, apakah kucing itu masih memiliki nyali.

Istri      : Aneh! Mau makan atau mau ngurus kucing makan?! (bentaknya kesal)

Bapak : Stttt! Lihat, aku sudah berhasil menghajar binatang itu bagaimana menghormati teritorial kita!

Istri      : Ntar ikannya disambar lagi, baru nyesel!

Bapak : Nggak bakalan!

Istri      : Namanya juga kucing!

Bapak : Tidak mungkin! Kakinya yang pincang itu, sudah membuat dia ngeper sendiri!

Tapi tiba-tiba si Anak yang kecil muncul dari samping.
Anak    : Kucing nakal! (membawa batu mau melempar kucing itu, sesuai dengan yang Bapak ajarkan)

Kucing itu cepat berbalik. Ternyata dia tidak takut. Kakinya yang cidera seperti mendadak sembuh. Dan kucing itu menerjang si Anak.

Istri      : Pak! (teriaknya)

Belum sempat berteriak, kucing itu sudah kaget melihat muka Bapak yang nongol di jendela. Dia kontan membatalkan serangannya, lalu melompat ke jalan dan kabur. Tapi sebuah mobil yang meluncur cepat menerima lompatannya. Kucing itu tergilas.

Esoknya, seperti yang sudah diduga, Pak RT muncul. Saya lebih dulu menegor.

Bapak : Bulan Ramadan tidak boleh mengumbar emosi kan Pak RT?

Pak RT : (tersenyum seperti kena sindir) betul, Pak. Tapi kalau terpaksa apa boleh buat.

Bapak : Lho boleh?

Pak RT : Habis kalau nyolong melulu?!

Bapak : (Saya tertegun) siapa Pak RT?

Pak RT : Siapa lagi! Almarhum!

Bapak : Almahum siapa?

Pak RT : Kucing yang Bapak bunuh itu. (tersenyum)

Bapak : (tertegun) saya tidak membunuh kucing itu! Kan yang punya sendiri yang menggilasnya!

Pak RT : Ya untungnya begitu. Tapi sebenarnya dia sudah mati sejak Bapak mematahkan kakinya.

Bapak : …………...

Pak RT : Sejak kakinya patah, kucing itu tidak berani lagi sembarangan masuk ke rumah. Bukan hanya rumah Bapak, juga rumah saya dan rumah-rumah yang lain. Dan sejak itu pula, tak ada yang pernah kehilangan ayam atau makanan lain dari meja secara misterius. Rupanya selama ini kucing itu biang keroknya.
Sekarang kita aman…

Bapak : O ya?

Pak RT : (senyum lagi)Ya.

Bapak : Kalau begitu bagus dong.

Pak RT : Bagus.

Bapak : Jadi kita aman sekarang. Tidak ada aman, tidak ada tai kucing?

Pak RT : Ya. Untuk sementara.

Bapak : Sementara?

Pak RT : Untuk sementara.

Bapak : Kenapa?

Pak RT : Sebab Pak Michael sudah membeli tiga ekor kucing lagi untuk mengganti kesayangan istrinya itu. Habis istrinya nangis terus kehilangan kucingnya.

Bapak : (terhenyak) berarti kita harus melakukan pembunuhan lagi?

Pak RT : (tertawa) tidak usah. Cukup biasakan mengunci pintu dan almari dapur.

Bapak : Dan mematahkan kakinya pada kesempatan pertama dia mencuri?!

Pak RT : Betul!

Bapak : Sebab kalau dibiarkan atau dimaafkan, dia pasti akan mengulang dan lama-lama jadi penyakit!

Pak RT : Betul.

Bapak : (tertawa) kalau begitu kita cs Pak RT.

Bapak mengulurkan tangan. Lalu mereka berjabatan.

Pak RT : O ya, saya lupa, (sambil merogoh kantungnya lalu mengulurkan selembar kuitansi).

Bapak : (Darah saya tersirap) apa ini?

Pak RT : Menurut Pak Michael yang membunuh kucingnya itu, Bapak. Bapak diminta dengan sangat mau mengganti pembelian ketiga kucing yang baru dibelinya itu.”

Pak RT lalu begitu saja meninggalkan saya. Seakan-akan tidak ada sama sekali keanehan dalam peristiwa itu. Saya bingung. Tiba-tiba saya jadi pembunuh yang harus dihukum. Mana jiwa nabi serta kebesaran Pak RT yang dulu kelihatan begitu tebal untuk menjaga kesejahteraan warga. Kenapa saya dianggap pantas menerima pemutarbalikkan yang kacau itu.

Manusia dan binatang sama saja, teriak saya dalam hati. Lalu saya kejar Pak RT ke rumahnya. Saya ulurkan kuitansi itu ke mukanya. Supaya ia menatap dengan baik, bukan jumlah yang tertera di sana yang membuat saya mabok, tetapi maknanya. Hakikatnya. Dan tanpa bicara sepatah kata pun, saya sobek kuitansi itu di depan matanya. Perlahan-lahan menjadi potongan-potongan kecil.

~TAMAT~

Catatan : dikonversi dari cerpen dengan judul yang sama. http://imamzainudin.blogspot.com/2014/06/cerpen-karya-putu-wijaya-kucing.html

Categories: Share