Background
PERIHAL
1.
”AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. ”Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom­petnya yang lecek dan kosong.
”Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”
2.
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang mis­kin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang me­nahan lapar. ”Kelak, mereka pasti akan men­jadi orang miskin yang baik dan sukses,” gu­mamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu me­nik­mati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, ”Ceritakan ki­sah paling lucu dalam hidup kita…”
”Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan me­reka.
3.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. ”Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin,” ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. ”Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. ”Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
4.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik pada­ku. ”Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. ”Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
”Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, ”Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Ber­tahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
5.
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kos­tumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap meng­hibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.
”Barangkali kemiskinan memang bukan hi­buran yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la­par, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.
6.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se­tiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me­lupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang mis­kin itu mengajak lapar bermain-teka-teki, untu­k menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar da­tang ber­tandang.
”Hiburan apa yang paling menyenangkan ke­tika lapar?” Dan orang miskin itu akan menja­wabnya sendiri, ”Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
7.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. ”Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. ”Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
”Wah, hebat banget!” ujarku. ”Semua kuliah, ya?”
”Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
8.
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma­sih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. ”Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me­reka secara adil dan beradab berdasarkan Pan­casila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. ”Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
9.
Pernah suatu malam kami nongkrong di wa­rung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me­manjakan diri menikmati kopi. ”Orang miskin per­lu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be­ginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya ba­nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sam­bil menepuk-nepuk pundakku. ”Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan pen­de­ritaan, yang bisa digunakan untuk membia­yaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pe­lan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.
10.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber­jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihat­nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta­ngisnya.
11.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. ”Jangan sa­lah paham,” katanya. ”Aku sedih bukan ka­rena aku miskin. Aku sedih karena banyak se­kali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa ki­kuk dengan penampilanku yang perlente. Se­jak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.
12.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.
13.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, ”Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, ”Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. ”Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.
14.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. ”Beginilah enaknya jadi orang miskin,” katanya. ”Di­tu­duh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia pelakunya. De­ngan harapan ia kembali dipukuli.
15.
Banyak orang berkerumun sore itu. ”Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu te­was dipukuli. Ternyata bukan. ”Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Ma­kanya ia memilih membakar diri.”
Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.
16.
Sepertinya ini memang lagi musim orang mis­kin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit hutang.
”Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. ”Hanya orang miskin ga­dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. ”Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”
17.
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman sa­ja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap sa­ja kaget ketika orang miskin itu muncul di ru­mahku sambil menenteng telepon genggam.
”Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, ”Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
18.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu na­ma itu bertengger dengan gagah namanya, tem­pat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.
19.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang mis­kin. Ia suka keliling kampung, menenteng pon­sel, sambil bersiul entah lagu apa. ”Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot me­ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,” ka­tanya. ”Buat apa? Toh sekarang kami sudah nya­man jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”
Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sam­bal terasi dan nasi -yang tambah sampai tiga kali- disantapnya dengan lahap. Sementa­ra aku hanya memandanginya.
”Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. ”Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
20.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. ”Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, ”dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. ”Anda sudah sumbuh,” kata pe­rawat, lalu memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. ”Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.
21.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.
Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
22.
Suatu sore yang cerah, aku melihat orang mis­kin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sa­kinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
”Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bi­sik orang miskin itu pada istrinya, sambil me­nunjuk orang-orang yang sedang antre memba­yar dengan kartu kredit. Di kasir, orang mis­kin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tan­da Miskin miliknya, ”Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.
23.
Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. ”Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. ”Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”
Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
24.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.
Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. ”Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.
25.
Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
”Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, ”mau mati sa­ja pakai nipu.”
”Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”
”Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”
”Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Kare­na neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”
Orang-orang pun tertawa ngakak.
26.
Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya.
***

Jakarta-Singapura, 2009
BANUN
Bila ada yang bertanya, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tidak akan ada yang menyanggah bahwa perempuan ringkih yang punggungnya telah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, lantaran sifat kikirnya dari tahun ke tahun semakin mengakar, pada sebuah pergunjingan yang penuh dengan kedengkian, seseorang menambahkan kata ”kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yang sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turun-temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani, tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang kehandalannya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini belum terungkap rahasianya.
Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-banun yang lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini.
***
Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan diri untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.
”Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun Kikir tiada kunjung reda.
”Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu Nami, anak kedua Banun.
”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani,” bentak Banun.
”Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.”
Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya, termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai penyempitan dari ”tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat ”ditahani” Banun, semakin kokoh ia berdiri sebagai orang tani.
Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani padi, tentu akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan ditanamnya, agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang tani.
***
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun, Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tumbuhan langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yang selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim ke musim hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam.
”Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
”Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan sorot mata sinis.
”Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.
”Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya. Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama. Tiga bulan setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai ajal datang menjemputnya.
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.
”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal belum, bukan?”
”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”
”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.
”Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”
Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.
Tanah Baru, 2010
JURU MASAK
Perhelatan bisa kacau tanpa kehadiran lelaki itu. Gulai Kambing akan terasa hambar lantaran racikan bumbu tak meresap ke dalam daging. Kuah Gulai Kentang dan Gulai Rebung bakal encer karena keliru menakar jumlah kelapa parut hingga setiap menu masakan kekurangan santan. Akibatnya, berseraklah gunjing dan cela yang mesti ditanggung tuan rumah, bukan karena kenduri kurang meriah, tidak pula karena pelaminan tempat bersandingnya pasangan pengantin tak sedap dipandang mata, tapi karena macam-macam hidangan yang tersuguh tak menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, tapi helat tak bikin kenyang. Ini celakanya bila Makaji, juru masak handal itu tak dilibatkan.

Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan Gentasari dengan Rustamadji yang digelar dengan menyembelih tigabelas ekor kambing dan berlangsung selama tiga hari, tak berjalan mulus, bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai pria merasa dibohongi oleh keluarga mempelai wanita yang semula sudah berjanji bahwa semua urusan masak-memasak selama kenduri berlangsung akan dipercayakan pada Makaji, juru masak nomor satu di Lareh Panjang ini. Tapi, di hari pertama perhelatan, ketika rombongan keluarga mempelai pria tiba, Gulai Kambing, Gulai Nangka, Gulai Kentang, Gulai Rebung dan aneka hidangan yang tersaji ternyata bukan masakan Makaji. Mana mungkin keluarga calon besan itu bisa dibohongi? Lidah mereka sudah sangat terbiasa dengan masakan Makaji.

“Kalau besok Gulai Nangka masih sehambar hari ini, kenduri tak usah dilanjutkan!” ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.

“Apa susahnya mendatangkan Makaji?”
“Percuma bikin helat besar-besaran bila menu yang terhidang hanya bikin malu.”

Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar, sehambar Gulai Kambing dan Gulai Rebung karena bumbu-bumbu tak diracik oleh tangan dingin lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tak pernah keberatan membantu keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak atau orang biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji tak pilih kasih, meski ia satu-satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh Panjang. Di usia senja, ia masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap gesit meracik bumbu, masih kuat ia berjaga semalam suntuk.

“Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung ini, bagaimana kalau tanggungjawab itu dibebankan pada yang lebih muda?” saran Azrial, putra sulung Makaji sewaktu ia pulang kampung enam bulan lalu.
“Mungkin sudah saatnya Ayah berhenti,”
“Belum! Akan Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak lincah lagi meracik bumbu,” balas Makaji waktu itu.
“Kalau memang masih ingin jadi juru masak, bagaimana kalau Ayah jadi juru masak di salah satu Rumah Makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi berjauhan dengan Ayah,”

Sejenak Makaji diam mendengar tawaran Azrial. Tabiat orangtua selalu begitu, walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski sepahit empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang ia menimbang. Makaji memang sudah lama menunggu ajakan seperti itu. Orangtua mana yang tak ingin berkumpul dengan anaknya di hari tua? Dan kini, gayung telah bersambut, sekali saja ia mengangguk, Azrial segera memboyongnya ke rantau, Makaji tetap akan punya kesibukan di Jakarta, ia akan jadi juru masak di Rumah Makan milik anaknya sendiri.

“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”
“Kenduri siapa?” tanya Azrial.
“Mangkudun. Anak gadisnya baru saja dipinang orang. Sudah terlanjur Ayah sanggupi, malu kalau tiba-tiba dibatalkan,”

Merah padam muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis Mangkudun kalau bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab hengkangnya ia dari Lareh Panjang tidak lain adalah Renggogeni, anak perempuan tunggal babeleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di Lareh Panjang, ia dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini miliknya. Sejak dulu, orang-orang Lareh Panjang yang kesulitan uang selalu beres di tangannya, mereka tinggal menyebutkan sawah, ladang atau tambak ikan sebagai agunan, dengan senang hati Mangkudun akan memegang gadaian itu.

Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir tamat dari akademi perawat di kota, tak banyak orang Lareh Panjang yang bisa bersekolah tinggi seperti Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial itu benar-benar akan menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial bukan siapa-siapa, hanya tamatan madrasah aliyah yang sehari-hari bekerja honorer sebagai sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan loyang perbedaan mereka.

“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak juru masak!” bentak Mangkudun, dan tak lama berselang berita ini berdengung juga di kuping Azrial.

“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggungjawab. Renggo yakin kami berjodoh,”
“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan saya carikan kau jodoh yang lebih bermartabat!”
“Apa dia salah kalau ayahnya hanya juru masak?”
“Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu. Paham kau?”
Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, seperti sawah tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tapi tidak patut rasanya Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati Azrial melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa luka hati. Awalnya ia hanya tukang cuci piring di Rumah Makan milik seorang perantau dari Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya modal, agar tidak selalu bergantung pada induk semang. Berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini sudah jadi juragan, punya enam Rumah Makan dan duapuluh empat anak buah yang tiap hari sibuk melayani pelanggan. Barangkali, ada hikmahnya juga Azrial gagal mempersunting anak gadis Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai orang Lareh Panjang paling sukses di rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula, sejak ibunya meninggal, ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang merawat, adik-adiknya sudah terbang-hambur pula ke negeri orang. Meski hidup Azrial sudah berada, tapi ia masih saja membujang. Banyak yang ingin mengambilnya jadi menantu, tapi tak seorang perempuan pun yang mampu luluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni, atau jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.

Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam ditembakkan ke langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka peninggalan sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang menggelar kenduri bukan orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang dipertontonkan. Para tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna menyambut kedatangan mempelai pria. Para pesilat turut ambil bagian memeriahkan pesta perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh Panjang itu. Maklumlah, menantu Mangkudun bukan orang kebanyakan, tapi perwira muda kepolisian yang baru dua tahun bertugas, anak bungsu pensiunan tentara, orang disegani di kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah banyak membantu laki-laki itu, sejak dari sebelum ia lulus di akademi kepolisian hingga resmi jadi perwira muda. Ada yang bergunjing, perjodohan itu terjadi karena keluarga pengantin pria hendak membalas jasa yang dilakukan Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan atas dasar hutang budi.

Mangkudun benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan carikan jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih bermartabat. Tengoklah, Renggogeni kini tengah bersanding dengan Yusnaldi, perwira muda polisi yang bila tidak ‘macam-macam’ tentu karirnya lekas menanjak. Duh, betapa beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tapi, pesta yang digelar dengan menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh ekor kambing itu tak begitu ramai dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang hanya datang di hari pertama, sekedar menyaksikan benda-benda pusaka adat yang dikeluarkan untuk menyemarakkan kenduri, setelah itu mereka berbalik meninggalkan helat, bahkan ada yang belum sempat mencicipi hidangan tapi sudah tergesa pulang.

“Gulai Kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.
“Kuah Gulai Rebungnya encer seperti kuah sayur Toge. Kembung perut kami dibuatnya,”
“Dagingnya keras, tidak kempuh. Bisa rontok gigi awak dibuatnya,”
“Masakannya tak mengeyangkan, tak mengundang selera.”
“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”

Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai pria diam-diam juga kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan menu masakan yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer dan daging yang tak kempuh. Padahal mereka bersemangat datang karena pesta perkawinan di Lareh Panjang punya keistimewaan tersendiri, dan keistimewaan itu ada pada rasa masakan hasil olah tangan juru masak nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Makaji?

“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu mereka bertanya-tanya.
“Sia-sia saja kenduri ini bila bukan Makaji yang meracik bumbu,”
“Ah, menyesal kami datang ke pesta ini!”

Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji, datang dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu sudah berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, sebab ia akan menghabiskan hari tua di dekat anaknya. Orang-orang Lareh Panjang telah kehilangan juru masak handal yang pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji sampai juga ke telinga pengantin baru Renggogeni. Perempuan itu dapat membayangkan betapa terpiuh-piuhnya perasaan Azrial setelah mendengar kabar kekasih pujaannya telah dipersunting lelaki lain.

http://damhurimuhammad.blogspot.com/2008/01/juru-masak-cerpen-damhuri-muhammad.html
Assalamualaikum Wr. Wb.
Cerpen di bawah ini merupakan hasil buah pikir kelompok kami dalam pelajaran Bahasa Indonesia (Wajib). Cerpen yang terinspirasi setelah kami mengetahui biografi Chairil Tanjung. Selamat menyimak !
Apa Ia Datang dari Langit?

Kudekap erat  kertas putih yang bahkan anginpun tak akan kubiarkan menjilatnya. Selembar kertas yang akan mengantarkanku pada masa depan. Keringatku menetes begitu aku membaca satu kalimat di baris ke delapan. Lima juta, katanya. Jangan salah. Asal kau tahu, ini bukan undangan berhadiah. Itu biaya untukku masuk ke universitas ternama di kota Jakarta. Gila, darimana aku dapat uang sebanyak itu? pikirku putus asa. Tapi Tuhan selalu punya kejutan. Siapa tahu, Dia telah menyiapkan karuniaNya jika  tak menyerah sekarang. Pada kenyataannya, selalu ada jalan, selalu ada kejutan di hidupku.
Namaku Kadir Tanjung. Dengan berbekal keyakinan aku beranikan mengantongi kertas itu di saku celana. Aku pulang dengan hati cemas. Ibu tidak boleh tahu. Beliau sudah bekerja keras banting tulang setiap hari untuk menghidupi keluarga. Sudah cukup beliau berdedikasi besar-besaran dalam hidupku. Aku harus mandiri. Sudah saatnya aku menapaki anak tangga kesuksesan dengan cucuran keringatku sendiri. Kuputuskan sebelum sampai di rumah, aku harus melamar pekerjaan. Apapun itu, walau pun sekedar tukang cuci piring, yang penting uangku cukup untuk biaya sekolah, dan jika bisa, menghidupi keluarga juga.
Di depan toko musik, kakiku berhenti sejenak. Bagai ayat yang turun dari langit, tulisan LOWONGAN KERJA di depan jendela tampak berseri-seri menyambut. Karunia Tuhan telah turun untukku. Bahkan sebelum sempat berpikir, aku sudah di dalam. Dengan ramah penjaga toko menyapa dan bertanya, “Mau cari apa?” Aku menarik napas, badan tegap. “Saya mau melamar kerja,” Mantap. Si penjaga toko mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rahangku mengeras. Sekilas ia tampak ragu, dan memang begitu adanya. “Saya bersedia menjadi tukang cuci atau kuli, apapun yang Anda butuhkan!” Alisnya menyatu. Gawat, hatinya keras. Ia masih tidak yakin. Keringat mengalir di dahiku. “Otot saya kuat, saya amat suka musik, pop, rock, metal, keroncong, dangdut koplo....” Apa lagi? “Musik adalah bagian dari hidup saya!” tambahku asal. Penjaga toko itu mengangkat sebelah alisnya lalu kelihatan menimbang-nimbang. “Kamu suka Rhoma Irama?” tanyanya. Aku berpikir sejenak. Bintang musik dangdut itu? Apa hubungannya? Apalah itu, aku tidak peduli. “Ya, saya suka,” Dia manggut-manggut, tersenyum penuh keyakinan. “Bawa surat lamaran?”

Dua minggu sudah aku habiskan waktu libur bekerja di toko musik, mengumpulkan uang walau cuma receh. Kuusahakan bekerja ekstra biar dapat uang tip. Bersih-bersih, menyapu, mengepel, mengelap etalase, menyapa setiap pengunjung yang lewat, memanggil tukang bakso untuk makan siang bos, dan sebagainya kukerjakan dengan sungguh-sungguh meski tidak diminta. Serasa menjadi superhero. Pagi jadi pengantar koran, siang jadi penjaga toko, malamnya menjadi guru ngaji anak-anak kampung dan terkadang kerja sampingan seperti membantu ibu RT mencari kecoak yang buron di rumahnya.
Hari ini kuputuskan memecah celengan ayam jago hasil tabunganku selama SMA dan menggabungkannya dengan gaji kerja part-time sana-sini. Lalala, hatiku membuncah, perasaanku menari-nari. Pasti hasilnya tidak diragukan lagi. Bayangkan, Rudi dan Nyoman, kedua teman baikku itu, menceritakan betapa menyenangkannya liburan mereka bersama keluarga, mengunjungi Pasar Minggu, berenang dan berjemur di Pantai Pasir Putih sedangkan aku berenang di lautan keringatku sendiri!
Ibu menyuruhku duduk dan makan bersama dua adikku, Aji dan Sofia. “Kadir, makanlah dulu, ada soto babat kesukaanmu,” Sayang, aku harus menyangkalnya dengan sangat berat, namun rasa senang di hatiku lebih besar. Aku berlari kecil ke dalam kamar, mengambil celengan dan memecahkannya. Kuambil gajiku yang  berbungkus amplop sobekan bertali karet. Satu, dua, hitung dan kuitung, hitung berkali-kali. Tiga juta empat ratus empat  puluh tiga ribu dua ratus rupiah. Seketika, Zeus menyambarkan petirnya padaku dan tombak Poseidon menusuk tajam ke arah hatiku. Bayangan angka sebesar lima juta berkelebat dalam pikiran. Masih... kurang... 
Mukaku pucat. Lidahku pahit. Besok adalah hari terakhir dan masih kurang satu juta lima ratus lima puluh enam ribu delapan ratus lagi. Bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu dalam kurun waktu duapuluh empat jam? Mengutang dan menyembah-nyembah Pak Lurah yang terkenal kikir di kampungku? Kenapa tidak mencuri saja? Kalau begitu, menipu orang?
Bisikan syaiton datang bertubi-tubi.
Tok Tok.
Ibu mengetuk pintu. “Le, kok lama sekali? Nanti sotonya keburu dingin,” ucapnya lembut. Begitu melihatku yang lemas tak berselera, beliau masuk kemudian duduk di sebelahku di pinggir dipan, membelai rambutku. Ibu adalah orang yang baik dan lemah lembut. Tapi, sejujurnya  aku tidak ingin ibu masuk dan melihat berlembar-lembar uang receh yang kusebar di lantai.“Kenapa wajahmu pucat?” tanyanya. “Anu... Bukan..” Aku bingung menjelaskannya. Ibu tersenyum, “Kadir sedang ada masalah, kenapa ndak cerita saja pada Ibu?” Aku diam, tidak bisa menjawab. “Tenang, setiap masalah pasti ada solusinya. Asal Kadir tidak menyerah dan percaya Tuhan pasti memberi petunjuk,” Aku khusyuk mengkaji pembicaraan ibu barusan. “Ibu bangga Kadir sudah mau kerja, berusaha buat sekolah. Ibu tau Kadir sudah kerja keras setiap hari,” “Ibu sudah tahu?” Tanyaku lirih. Ibu tersenyum lagi. “Ibu tahu segalanya tentang Kadir. Ndak perlu sembunyi-sembunyi, Ibu tahu Kadir anak baik dan berbakti,”
Perlahan hati kecilku tersenyum, “Kadir percaya semua yang ibu ucapkan,” Ibu berhenti membelaiku. Beliau  berbalik dan mengambil sesuatu di saku dasternya. Beliau menyerahkan sebuah bungkusan putih. Aku menatap mata beliau. “Buat bayar sekolah,”­ ujarnya. Mendadak hujan tumpah melalui pelupuk mataku. Dengan segera kupeluk erat beliau. “Kadir belajar ya, biar jadi orang sukses. Jangan lupa berdoa, biar ilmunya barokah, ” pesannya. “Ibu percaya Kadir nantinya akan jadi orang yang berhasil.” Hujan di mataku berubah menjadi badai.
Ibu, tanpa beliau aku tak akan bisa maju sejauh ini. Jika aku tak punya Ibu berhati mulia seperti beliau, aku pasti rapuh. Bisa saja aku malah menyalahkan takdir dan pilih gantung diri di depan kamar Pak Lurah.
Tanpa Ibu, aku cuma buih di lautan.
=v=
Kadir Tanjung, namanya telah terukir dalam daftar para mahasiswa baru Universitas Indonesia dalam jurusan Kedokteran Gigi. Ajaran baru telah dimulai. Masa OSPEK sudah berlalu. Berbekal motivasi yang tinggi dari sang ibu dan sejumlah uang, Kadir berusaha membuka pintu kesuksesannya. Pintu yang berdebu, usang nan tua. Tapi melalui pintu itulah ia yakin masa depan yang cerah telah menantinya. Kadir bertemu orang-orang yang hebat. Diantaranya dua orang sahabat bernama Gio dan Mahmud yang bersedia menemaninya dalam hujan dan petang.
=v=
Setiap akan masuk kelas, kami harus naik turun tangga fakultas. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ada yang ganjil di sana.
“Lihat ruang kosong di bawah tangga?” tanyaku pada dua sahabatku. Mereka menoleh pada tempat yang kumaksud. “Memang kenapa? Kita selalu lewat sini,” jawab Gio. Mahmud bergidik, “Jangan-jangan kemampuan indra keenammu muncul?” Aku menggeleng, “Bukan. Apa kalian tidak merasa aneh?” “Apa yang aneh?” tanya mereka, penasaran. “Jika ada tempat kosong begitu di kampus kita dan tidak dimanfaatkan, itu namanya mubazir,” jawabku. Kami diam, berpikir. “Bagaimana kalau kita buat usaha di sana?” celetuk Mahmud. Aku dan Gio berteriak-teriak girang memuja-muji kecerdasan Mahmud. Tapi, usaha apa?
“Makanan, itu kebutuhan pokok manusia,”
“Tapi tempatnya terlalu kecil kalau untuk berjualan makanan,”
Tiba-tiba handphone Gio berbunyi. Sms masuk. Gio membacanya. Ia menepuk dahinya, “Aku lupa menjilid dan fotokopi tugas makalah buat kelas siang” “Pergi saja ke ruang dosen, di sana ada tempat fotokopian,” usulku. Gio terlihat enggan lalu berbisik, “aku tidak mau jadi bulan-bulanan, kalian tahu aku ada masalah dengan dosen baru itu.” Kami menghela nafas. Gio pernah menggoda seorang dosen baru yang ternyata ayahnya bekerja  di sini juga. Begitu tahu Gio hanya main-main, si Bapak menjadi murka dan jadilah Gio menjadi bahan gunjingan sana-sini. “Kalau begitu kau harus cari fotokopian terdekat. Sudah hampir jam 10,” kata Mahmud. Kami memutuskan untuk pergi ke fakultas sebelah.
“Sebaiknya bangun mesin fotokopi di sana. Sejak mesin fotokopi fakultasmu rusak, fotokopian di sini tidak pernah sepi pengunjung,” kata seorang mahasiswa yang mengantri di belakang kami, tampak terburu-buru dan kesal. Aku positif menanggapinya. Brilian. Kenapa tidak pernah terpikirkan?
Seminggu kemudian, setelah melalui proses yang panjang, usaha fotokopi kami berjalan. Perlahan-lahan, kami mengembangkan usahanya, buku kuliah stensilan, dan alat-alat tulis. Mahmud membawa kue-kue dan makanan dari rumah dan dijual di sana. Gio menjual kaos yang motifnya didesain sendiri. Kami sering mempromosikannya pada penduduk kampus, dan jadilah kami sering mendapat pesanan dari teman-teman baru. Kami juga sering nongkrong bersama mahasiswa lain sambil berdiskusi mengenai apapun. Begitu aku mengatakan kalau modal yang kita punya sudah cukup untuk membuat rencana bisnis kedua: berjualan alat-alat kedokteran; mereka menanggapi dengan hati senang. Satu persatu mengusulkan tempat yang strategis, memberi semangat, menawarkan bantuan jika ada yang tidak bisa ditangani, dan lain-lain. Ah, bahagianya hidupku. Pikiran tentang keluargaku melayang-layang dalam pikiran. Aku bisa membantu ibu biar tidak terlalu repot. Beliau sudah tua dan ringkih, walau hatinya kuat. Aku bisa membelikan adik-adikku sepatu atau baju baru dan mengajak mereka ke Pasar Minggu.
Kami memutuskan membangun usaha di Senen Raya. Urusan teknisnya jadi cepat selesai karena dikerjakan sama-sama. Teman-teman sesama mahasiswa juga sering datang walau sekedar berbincang atau bermain. Semuanya terasa menyenangkan.
Namun aku lengah.
“Dir, kamu yakin mau meneruskan usaha ini?”
“Dihitung-hitung, dana kita sudah menipis.”
 Memang, kedua sahabatku benar. Kami sering mengadakan traktiran dan semacamnya karena usaha di kampus mendatangkan untung yang besar. Begitu mengetahui usaha kali ini tidak menguntungkan, kami memutuskan untuk menginap di rumah Gio untuk membahas rencana berikutnya, sekalian mengerjakan skripsi.
Ternyata tidak sampai seminggu kemudian, kami menutup pintu toko untuk selamanya. Usaha ini tidak bisa berjalan lagi. Kami menderita kerugian. Mahmud juga mulai mempertanyakan masa depannya, terus melakukan hobinya yang sangat berbakat; melukis, atau bekerja sebagai pekerja tetap pabrik sementara sebelum ia bekerja sesuai bidang yang ditekuninya selama 4 tahun.
“Melukis hasilnya tidak pasti, Dir. Kasihan orang tuaku menunggu terlalu lama dan akupun tidak yakin,” katanya waktu curhat padaku. Baru kali ini kulihat teman baikku itu begitu sedih. Sebenarnya aku sendiri harus memikirkan keluarga. Belum ada jasa apapun yang kuberikan untuk mereka. Mendadak perasaanku tidak enak.
Tiba-tiba telepon Gio berdering. Gio mengangkatnya. Mukanya berubah serius. Ia mendengarkan dengan hati-hati dan waspada. Gio memanggilku. Ia menyerahkan gagang teleponnya. “Dari adikmu.” Berdebar-debar, aku menerimanya.
“Halo...?” ucapku.
Aku sudah merasa tidak beres ketika Aji menelepon dan lebih kacau lagi perasaanku ketika mendengar suaranya yang goyah dan kering. Aku bisa mendengar Sofi menangis di sana.
“Ibu sakit, Mas,” katanya. Aku membeku. “Dari kemarin ingin ketemu, tapi Mas Kadir ndak pulang-pulang.” Ternyata seharian kemarin ibu tidak mau makan karena khawatir. Ibu tahu segalanya tentang Kadir. Aku mengingat kata-kata beliau waktu itu. Ibu tahu aku punya masalah di kampus dan beliau jadi kepikiran. Ini salahku.
Aku cepat-cepat pulang dan menyusul adik-adikku, lalu pergi ke rumah sakit diantar supir Pak Lurah. Selama perjalanan, aku was-was, membayangkan bagaimana keadaan ibu sekarang. Tapi hal itu justru membuatku berkeringat dingin dan mual. Berbagai kalimat berpola macam “Bagaimana kalau....?” bermunculan. Dokter sudah mengusahakan yang terbaik, tapi... Aku menampar pipiku. Apa sih, yang kupikirkan? Di saat begini aku tidak boleh terpuruk, aku harus berdoa, memohon pertolonganNya. Sesuai apa yang selalu ibu amanatkan padaku. Tuhan adalah sebaik-baik tempat untuk memohon dan kembali.
Mobil berhenti di tempat parkir rumah sakit. Aku segera turun dan mencari ruang rawat ibu. Di depan pintu, aku hampir menabrak seorang dokter.
“Luka lambung,” jawab dokter. “Ibu Anda harus segera diobati. Sementara ini beliau sudah  diberi obat dan bisa tidur.”
Aku menghembuskan nafas lega. Berkali-kali kuucapkan rasa syukur. Penyakit ibu masih bisa diobati. “Berapa harga obatnya, dok?”

Aku kembali bekerja sebagai pekerja sambilan dan sampingan. Aku sudah bicara dengan ibu dan meminta maaf, sungkem. Seharian aku duduk di samping beliau dan melayaninya. Justru di saat beginilah aku merasa senang bisa berada di samping beliau dan bisa membantu. Keadaan ibu semakin membaik.
Di kamarku, aku menunduk. Berpikir sebentar. Aku masih harus menjalankan bisnis bersama Gio dan Mahmud.
Benda yang sering dipakai dan dibutuhkan orang... Benda yang unik dan praktis...
Kubaca tulisan di tali sandal jepitku: SKY WAY.
Sky... Way...S dari sepak, sandal, sepatu, Way .. jalan. Sepatu sandal, sepatu sekolah, sepatu jalan-jalan.. Ah, sepatu! Usaha sepatu, sepatu lukis motif batik! Dengan begini bakat Mahmud pun tak akan sia-sia dan kami bisa berbisnis bersama. Gio ahli mengenai komputerisasi dan sebangsanya, dia bisa mempromosikan usaha ini ke berbagai pihak, luar kota, atau luar provinsi. Dengan begitu, banyak komunikasi, banyak jejaring, maka banyak peminatnya, mungkin Pak Presiden juga bakal membelinya. Aku cepat-cepat berganti baju dan pergi ke kampus, tempat sahabatku menunggu ide super cemerlang ini.
“Sepatu?” Gio melongo. “Kenapa sepatu?” Mahmud menimpali. Aku menjelaskan panjang lebar mengenai ide-ide yang dengan gampangnya muncul di kepala. Cukup sudah kukuras isi kepalaku itu. Gio mengangguk-angguk seperti beo dan mata Mahmud berbinar, terharu. “Kapan kita mulai? Darimana modalnya?” tanya Gio. Sinar di mata Mahmud meredup. “Kita baru bangkrut,” tambah Gio. “Kerja sambilan,” ucapku sambil mengenang masa-masa ketika aku bekerja mati-matian supaya bisa masuk di Ahli Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Mahmud sumringah. Gio mengangguk-angguk, “Jadi, kita akan cari kerja sepulang kampus.” katanya mantap.
Akhirnya kami bekerja bahu membahu, hingga bisa membangun modal untuk usaha sepatu dan  sandal versi kita bertiga. Kami membangun PT Pariarti Shindutama. Memang pada awalnya belum ada pengunjung yang tertarik. Tapi kita terus berusaha dan enggan berhenti. Sampai suatu hari pendapatan kita tidak sebanding. Apa usaha ini akan berhenti?
Man, kita tidak bisa begini terus! We need an advice!” teriak Gio tiba-tiba. Aku dan Mahmud yang sibuk bermain kartu remi untuk sekedar melepas stres, menoleh ke arahnya. “Kenapa Gi?” tanyaku. “Ya. Kenapa kau mendadak pakai bahasa bule?”ujar Mahmud. Gio memandangi kami satu persatu. “Tujuan kita di sini adalah bisnis, bukan duduk sambil main kartu remi!” jawabnya. Dia mengangkat menunjuk-nunjuk laptopnya. “Kalian tahu, apa yang aku lakukan sedari tadi?” Kami menggeleng. “Online chat, kalian tahu dengan siapa?”tanyanya lagi. Kami menggeleng lagi. “Orang Italia.” Kami ber-woooh ria. Gio menggebrak meja. Dia tersenyum, “Kalian tahu apa yang kami bicarakan?” Kami menggeleng. “Our beloved state, Indonesia. Dia suka wayang dan tari-tari tradisional.” Kami terkagum-kagum. Tiba-tiba suatu ide muncul di kepalaku. “Gi, kita promosikan produk kita!” Kami bersorak. Seterusnya, kegiatan kami adalah chat, memfoto produk, dan upload. Begitu seterusnya. Seharian itu kami mendapat teman 5 orang asing yang kelihatan tertarik dengan budaya Indonesia. Inilah kekuatan internet dan jejaring yang sebenarnya!
Yang lebih mengejutkan, sebulan kemudian setelah kami mulai putus asa atas usaha ini, orang Italia itu menghubungi kami lagi. Ia berkata: You have awesome products. I’d love to buy 12.000 pair!

Kejutan Tuhan datang menimpa kami.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Cerpen di bawah ini bisa dibiang murni buatkanku sendiri untuk pertama kalinya. Menceritakan seseorang yang memilki kekuatan yang tidak biasa dalam pikirannya. Hingga pada suatu hari ia pergi ke dunia lain. Bagaimanakah perjalanannya menapaki dunia barunya, simaklah !


Dunia yang Lain dari Dalam Diriku

Topik : Magis

Imam Zainudin/XI-IBB/08

Jilatan sinar matahari di ufuk timur menghangatkan kala itu. Seperti biasanya, Lorns bernyanyi – nyanyi memamerkan suara emasnya untuk membangunkan seisi rumah yang tengah terlelap.
Pagi ini dan pagi – pagi sebelumnya, bangunku tak pernah sepagi Lorns. Malah Lornslah yang selalu bangun lebih pagi dan membangunkanku, seperti pagi tadi. Aku pernah berpikir, mengapa ia selalu melakukan hal itu di setiap pagi. Apa dia lapar, hingga ia selalu berisysarat seperti itu untuk mendapatkan sepiring sarapan. Atau karena dia jail? Itu tak pentinglah, yang aku syukuri dengan kebiasaan Lorns. Ia selalu membuatku bangun di setiap pagi dengan nyanyian – nyanyiannya. Alhasil aku tak pernah terlambat datang ke sekolah.
Masakan ibuku telah tersaji lengkap di atas meja makan. Nafsuku tak tertahan lagi ketika kedua bola mataku bergerak dengan sempurna dari ujung meja menelusuri setiap mangkuk dan piring. Sontak meleleh air liurku memenuhi rongga mulutku yang mungil. “Papa ! Ran ! Paha ayamnya aku makan !” teriakku berharap mereka segera turun dan sarapan bisa segera dimulai. Aku, Adik, dan Papa memang sering sekali berebut hal – hal yang kami sukai bersama. Walaupun jumlahnya cukup untuk kami bertiga. Pastilah kami tetap berebut yang paling terbaik untuk diri kami sendiri.
“7.40. Masih ada waktu. Jika aku mampir beli roti croissant, tepat pukul 8 aku tiba di sekolah. Tidak ada 5 menit tersisa untukku bersiap diri memulai pelajaran, seperti biasanya. Bagaimana menurutmu Lorns?” suasana menjadi hening. Bukannya aku menunggu jawaban dari Lorns. Aku hanya sedang berpikir, mana yang harus aku pilih. Aku pun sudah tahu, Lorns tak kan pernah menjawab pertanyaanku. Seperti 2 tahun terakhir sejak aku mulai terbiasa untuk bercerita pada Lorns. “Ya ! Aku akan beli roti croissant, lalu aku bergegas menuju sekolah”. Kupercepat langkah kakiku meninggalkan Lorns yang tengah asyik jalan berkeliling halaman depan rumahku.
Toko roti bergaya Eropa kuno. Di pojok jalan bersebelahan dengan sebuah gereja dan halte bus. Di sini aku akan membeli roti favoritku. “Ini uangnya, Pak. Terima kasih.” ku lanjutkan perjalananku. Harum roti croissant yang baru matang, tak ada yang mampu menandingi. Sebenarnya bau harum inilah yang membuatku terpikat pada roti asal Eropa ini. Aku bisa membayangkan bagaimana reaksi Ran dan Papa ketika di tangan kananku, kubawa sebuah roti yang juga favorit mereka. Aku merasa menang saat ini. “Wajar saja kalau aku tertawa jahat sekarang” pikirku dengan sedikit senyum tersimpul dalam bibirku. “Ah, aku juga tak sejahat itu. Pulang sekolah nanti akan kubelikan 3 buah, untukku, Papa, dan Ran. Dan kubelikan roti susu untuk ibuku.”
Tepat waktu kududuk di kursi kelas. 5 detik berselang Bu Marshall masuk kelas dan memulai pelajaran. “Fiuuh” kuhembuskan nafas sedalam – dalamnya. Kutarik nafas, kukeluarkan perlahan. Tarik nafas, kukeluarkan perlahan – lahan. Nafasku mulai teratur setelah marathonku dimulai saat kutemui jam tanganku telat 2 menit dari perkiraanku. “Sudahlah, bersyukur aku tidak sampai masuk kelas setelah Bu Marshall. Lain kali aku akan berangkat lebih pagi jika hendak membeli roti croissant. Kupastikan itu, janji.” menenangkan diri.
Bu Marshall mulai menuliskan angka – angka di atas papan. Keluarlah kitab bergaris kotak – kotak juga bertuliskan angka – angka dari dalam tas hitamku. Aku bukan tergolong anak yang “tidak bisa”. Jika aku aku digolongkan anak – anak yang pintar, aku rasa juga tidak tepat. Liam, Farel, Rachel, Angelina, Briyant, Rick, dan Sam. Merekalah yang kuanggap terbaik. Hanya Alex pikirku, dia sangat aktif berdialog saat pelajaran di kelas, teori yang berputar dalam otaknya bagai pohon jeruk yang tengah berbuah lebat nan ranum. Siap petik, dan jadi. Louis, Rafael, Smith, Max, Greg, Marcell, Witson, Theo, dan Sabrine. Mereka yang aku sebut sebagi ombak. Mereka mampu sampai di daratan pesisir. Tapi kadang mereka juga hanyut di lautan. Caroline, David, dan Miranda (itu aku), “mereka yang terombang – ambing” kataku. Terhempas dan sampai di daratan. Tidak lama lagi kembali ke lautan. Seperjuangan “ya, bisa dikatakan demikian”.
Bu Marshall, “Sekitar tahun 1950-an Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof… Berikut ini adalah contoh sederhana mengenai pembelajaran materi segitiga sesuai tahap berpikir van Hiele…” terangnya. “Mm.. Haruskah kita mempelajari ini? Bukankah wajar seseorang berpendapat.” “Andai setiap orang di kelas ini memiliki bakat yang luar biasa. Alex, seorang yang super jenius dari Desa Mughrime. Ia mampu meracik segala ramuan untuk obat dan mampu merubah sesuatu menjadi hal yang berbeda. Dengan bantuan kepalanya yang besar tidak sulit melakukan hal tersebut. Dengan hidungnya yang besar, tidak akan sulit ia menemukan bahan – bahan ramuan. Liam dengan kepalanya yang lebih besar dari yang lain, membuat perhitungannya begitu akurat. Farel dengan hidungnya yang sangat mancung, segala jenis benda tidak akan bisa kau sembunyikan darinya selama benda itu tercium baunya. Angelina dengan kacamata besar dan lensanya yang tebal, membuatnya begitu cermat mengamati sesuatu dengan cepat. Briyant dengan insting “mencari” yang hebat dan kaki kuatnya yang besar, membuat pergerakkannya gesit dan lincah. Rick, Sam, dan Rachel, mereka yang selalu kompak dan  banyak cara kreatif untuk menciptakan sesuatu.
Desa Mughrime, desa penuh teka – teki untuk orang biasa. Dimana logika dan ilmu – ilmu pasti dalam dunia manusia seharga batu krikil. Dimana kebebasan, keadilan, dan kasih sayang kental, sekental kopi tubruk. Serupa batman, gorilla, goblin, elf, sentaur, smurf, hingga peri – peri mungil, merekalah khalifah di Desa Mughrime. Di atas bukit yang membagi desa menjadi beberapa distrik, berdirilah kemaharajaan penduduk Desa Mughrime. Kastil Mughrium berdiri di atas sebidang tanah yang melayang di atas puncak bukit. Sebuah kastil dengan pancaran kemilau cahaya kehangatan dan ketentraman, warna – warni cahaya membentuk jalan dari pintu gerbang menuju desa di bawah kastil. Sebuah jalan penghubung yang hanya bisa dipijaki penduduk desa atas titah dari Maharaja Moren Lopts. Puncak kastil tinggi menjulang, tidak ada yang tahu dimana ujungnya. Konon kabarnya, di puncak sanalah ada sebuah daratan. Dimana hidup penjaga kastil, sang Ksatria Naga. Kemampuannya terbang, melayang, menyelam, berenang, hingga kepekaan mendengar dan melihat, dialah ahlinya.
Desa Maandromor, sama seperti halnya Desa Mughrime. Desa penuh teka – teki untuk orang biasa. Dimana logika dan ilmu – ilmu pasti dalam dunia manusia seharga batu krikil. Serupa voldemort dan semua  pengikutnya dalam cerita Harry Potter. Merekalah  yang kemudian disebut sebagai penduduk Desa Maandromor. Penindasan adalah darah bagi kehidupan mereka, serakah merupakan jantung bagi mereka, dan penderitaan adalah misi mereka hidup. Selama ini mereka hidup dari desa – desa yang menjadi target serang mereka. Yaitu desa yang begitu makmur, damai, dan sejahterah. Desa dengan kehidupan yang bertolak dari mereka. Kebebasan, keadilan, dan kasih sayang. Hal yang tidak mereka akui adanya. Desa Murnmear, Desa Miflohrm, Desa Mehnsrhi, dan berjuta kebahagiaan penduduknya. Adalah korban dari kebengisan mereka. Bahkan dengan jarak yang sangat jauh dan benteng pertahanan yang sangat kuat, berhasil penduduk Maandromor runtuhkan demi misi mereka, penderitaan.
Maharaja Morar, “dengan jatuhnya Desa Mehnsrhi ke tanganku akan semakin jaya Maandromor. Apalagi angkatan perang Mehnsrhi merupakan salah satu yang terkuat dan tertangguh. Bertambahnya angkatan ahli perang Mehnsrhi ke dalam Maandromor, dunia kegelapan akan menjadi dunia baru. Dan akulah pemimpin dunia baru itu.” pidatonya terhadap pasukan yang ia mimpin atas kemenangannya tersebut. “kemana akan kita bawa Desa Maandromor ini, Baginda? Setelah kemenangan yang kita raih atas desa – desa taklukan kita, tak kan sulit untuk desa berikutnya.” tanya Moxert, kaki tangan setianya. Maharaja Morar, “…................................................................”.
Desa Mughrime, penduduk desa memang sulit menuju ke dalam kastil untuk menemui raja. Mereka hanya mampu memandangi dengan takjub kemegahan Kastil Mughrium dari distrik dimana mereka tinggal dan berkarya. Tetapi mereka mengenal benar siapa pemimpin mereka, siapa orang yang selalu melindungi mereka di garis terdepan, orang yang berjasa dengan kebahagiaan mereka. Maharaja Moren Lopts. Dia, orang yang merelakan sebagian penglihatannya di renggut. Demi rakyat yang ia pimpin. Tapi tidak untuk Pangeran Zainim. Putra mahkota yang akan memimpin kerajaan menggantikan ayahandanya yang telah memerintah sekitar satu milenium lamanya. Tidak ada satu pun penduduk yang mengetahui bahwa Pangeran Zainim adalah seorang putra mahkota. Mereka hanya mengetahui bahwa Maharaja Moren memiliki seorang anak laki – laki. Alhasil, ketika ia masih sepertiga dari ayahandanya dalam beberapa kesempatan ia sering melihat ke bawah dan mengamati segala aktivitas rakyat. Dan tidak jarang juga ia mencoba kabur walau pada akhirnya berhasil ditemukan. Ia mampu turun langsung ke desa. Tapi ia tak mampu kembali tanpa seizin ayahandanya, karena kastil dan desa hanya terhubung dengan jalan cahaya penghubung yang akan nampak dengan izin Maharaja Moren. Tindakan tersebut wajar ia lakukan. Bagaimana ia tidak melakukan hal tersebut, jika di dalam kastil ialah yang paling kecil, tidak ada lagi seseorang yang seumuran dengannya ditambah lagi ia tak pernah mengetahui bagaimana Mughrime itu. Usia Pangeran Zainim beranjak dewasa, begitu pula bagaimana ia menyikapi aturan yang ada. “Pasti ada alasan yang kuat mengapa ayahanda hingga melarangku demikian,” pikirnya. 
Tepat hari ini ialah perayaan satu milenium Maharaja Moren. Seluruh makhluk penduduk Mughrime bersuka cita, karena hari ini juga sebuah perayaan bagi mereka. Mereka semua berkumpul mengitari bukit. Menunggu sang Raja Moren turun dari singgasananya. Maharaja Moren akan berpidato di depan seluruh rakyatnya. “Rakyat kebanggaanku ! Mughrime inilah tempat kita diciptakan. Di sinilah kita hidup. Dan di sinilah kita mati. Tapi Mughrime tak akan pernah mati selama kita, penduduk Mughrime tetap hidup, untuk berjuang. Untuk kejayaan Mughrime !” dengan mengepalkan tangan ke atas. Tanpa dipandu, rakyat pun ikut mengepalkan tangan dan ke atas “Mughrime ! Mughrime ! Mughrime ! hidup Maharaja Moren !” dengan semangat yang serentak mereka bersorak.
Tembakan kembang api dari pintu gerbang desa membumbung di udara “X”. Itu berarti bahaya. Suasana menegang dan semua orang tampak kebingungan terhadap tanda tersebut. Selama Maharaja Moren naik tahta. Kata bahaya, ketakutan, dan kekerasan tak pernah terucap lagi. Datang segerombolan lebah dari kejauhan. “Ada wabah macam apa ini, hingga begitu banyak lebah datang ke Desa Mughrime.” kata Briyant. “Baginda, itu serangan.” terang Angelina. “Benarkah?”
Gerombolan semakin dekat dan jelas. “Dimingerti, merekalah Maandromor dengan sejuta kebengisan mereka.” kata Zainim. “Apa maksud mereka? Bertindak sekenanya.” kata Caroline. Kedamaian Mughrime kini terancam oleh Maandromor. Ribuan serangan mantra sihir menyerang wilayah Mughrime. Ladang – ladang dan hijuanya hutan berubah menjadi ayam – ayam jago merah membara. Muncullah begitu banyak hewan bertanduk seperti badak tetapi melata bagai ular. Ketika cahaya hitam Moxert keluar dari jari telunjuknya. Makhluk tersebut menyerang dengan ganasnya. Ia tak kenal ampun untuk merusak dan membunuh. Perang tak mampu dihindari. Ksatria Mughrime terbang mengejar mereka yang mengacau. Baku tembak mantra sihir terjadi di langit Mughrime. Langit yang tadi cerah merayakan satu milenium Maharaja Moren, berubah mendung kelabu. Maharaja Moren geram menyaksikan apa yang terjadi. Tapi ia tidak sedikit pun terkejut. Seolah ia mengetahui sebuah ramalan bahwa ini memang akan terjadi. Lalu ia memerintahkan seluruh penduduk terutama wanita dan anak – anak, untuk naik ke dalam kasti.
Tak lama, seberkas cahaya menyilaukan seluruh Mughrime hingga peperangan sempat terhenti beberapa detik. Cahaya menghilang, begitu pula penduduk Mughrime. Sedangkan para ksatria terus berjuang dengan apa yang ia bisa lakukan. Briyant, ksatria hebat sedang berlaga. Ia sungguh menikmati peperangan ini. Ia mampu menyalurkan energi besar yang ia miliki dalam peperangan ini. Ia gesit melocat dalam medan. Musuh – musuh berguguran tertimpa injakan telapak kaki Briyant. Tapi ganas dan brutalnya serangan Maandromor, hingga kekuatan Briyant pun bukan hal yang besar.
Di dalam kastil Maharaja Moren bergegas memakai baju zirah dan sebuah pedang yang perkasa ia raih, “Ayahanda, aku ikut denganmu,” kata Pangeran.
“Tidak ! Kau tetap di sini. Dalam kastil ini.” perintah tegas sang Raja.
“Tidak ayahanda, izinkan aku ikut denganmu untuk kali ini.”
“Kataku tidak ! Kau tidak seharusnya ikut berperang di sana, akan lebih rumit. Kau di sini dan jaga rakyatku untuk Mughrime.” jelasnya dengan tetap tidak mengizinkan Pangeran. Maharaja Moren melangkah meninggalkan Pangeran.
“Apa aku bagian dari Mughrime?” langkah sang Raja terhenti. “Apa benar aku bagian dari Mughrime? Apa aku masih menjadi bagian dari Mughrime ketika aku melihat dengan jelas di bawah sana rakyat berjuang mempertaruhkan jiwa raganya untuk Mughrime. Sedangkan aku hanya berdiam diri di sini tidak berbuat apa pun untuk Mughrime.”
Raja tertegun dan membalikkan badan. Ia mendekati putrnya. “Jika kita bersama – sama pergi ke medan pertempuran. Dan berjuang mempertahankan Desa Mughrime. Lalu siapa yang akan menjaga dan melindungi panduduk Mughrime?”
“Mereka akan aman di dalam kastil ini. Tidak akan ada yang bisa bahkan untuk mendekati kastil ini saja.” sanggahnya.
“Kau kelak akan menjadi pemimpin Mughrime, kau harus bijak, yang harus kau jaga bukan hanya Desa Mughrime saja, tetapi penduduk Mughrime juga. Kau harus tetap di sini,”
“Apa Ayahanda meragukanku?”
“Apa maksud dari perkataanmu?”
“Ayahanda melarangku untuk ikut berperang dalam medan perang. Ayahanda selalu melarangku untuk ikut mengurusi Mughrime, memperjuangkan dan membela Mughrime di garis terdepan. Apa ayahanda benar – benar tidak percaya padaku?”
“Bukan demikian, Zain.”
“Apa aku benar bagian Mughrime? Apa Ayahanda memang meragukanku? Apa aku lemah? Pertanyaan itu yang selalu aku pikirkan dalam berabad – abad. Dan itu menyiksaku, Ayah. Apa ayah masih menganggapku anak kecil?”
“Tidak ! Kau salah,”
“Lalu apa? Baiklah akan aku buktikan padamu. Bahwa aku tak selemah yang  kau pikir !”
Lalu Pangeran raih pedangnya, dan menyerang ayahnya sendiri. Mughrime diambang kehancuran, mencoba mempertahankan wilayahnya dari serangan Maandromor. Di sisi lain, di dalam kastil, sang Pangeran dan sang Raja ikut bertempur.
Ada yang aneh dengan Pangeran. Ia tidak mengerti mengapa ia terus menyerang ayahnya sendiri. Hawanya begitu dingin, kedua matanya memancarkan cahaya kegelapan.
“Kau bukan anakku !”
“Apa yang kau katakan Moren?”
Mereka berdua tetap melanjutkan duel tersebut. Permainan pedang mereka sangat imbang.
“Morar ! Kau yang merubah anakku menjadi seperti ini. Keluar kau dari tubuh anakku !”
“Hahah.. Kau ingat aku?”
“Mengapa kau melakukan ini semua? Bukankah dulu kita teman sejati?”
“Kau yang membuatku seperti ini. Kau yang mengambil Laurent dariku.”
“Itu hanya masa lalu. Aku bisa jelaskan semua.”
“Tidak perlu. Aku akan mengakhiri ini semua saat ini juga”
Pangeran Zainim tak sebanarnya ia. Tubuhnya telah dikendalikan oleh Morar. Raja yang menguasai Maandromor. Raja yang keji dan bengis.
Sayangnya, sang Raja Moren sangat terdesak. Kemampuan Pengeran yang pandai bermain pedang, semakin hebat karena tambahan kekuatan Morar.
Tak mampu lagi sang Raja bertahan melawan serangan Pangeran dan Morar. Hulusan pedang Pangeran tersambar di lehernya. Raga sang Raja pupus terbawa angin. Begitu pulalah Mughrime. Cahaya jatuh dalam kegelapan.
Bu Marsall, “Miranda sedang apa kamu ?” teriaknya. Membangunkan segala bayangan darinya. “Maaf Bu”. Dalam hati Miranda “Ah, sayang sekali, mengapa ceritanya berakhir demikian. Nanti akan aku ceritakan pada Lorns”
Wassalamualaikum Wr. Wb.