Background

Cerpen "Apa Ia Datang dari Langit?" karya Nabila Triandini, Imam Zainudin, dan Audia S. I.

Assalamualaikum Wr. Wb.
Cerpen di bawah ini merupakan hasil buah pikir kelompok kami dalam pelajaran Bahasa Indonesia (Wajib). Cerpen yang terinspirasi setelah kami mengetahui biografi Chairil Tanjung. Selamat menyimak !
Apa Ia Datang dari Langit?

Kudekap erat  kertas putih yang bahkan anginpun tak akan kubiarkan menjilatnya. Selembar kertas yang akan mengantarkanku pada masa depan. Keringatku menetes begitu aku membaca satu kalimat di baris ke delapan. Lima juta, katanya. Jangan salah. Asal kau tahu, ini bukan undangan berhadiah. Itu biaya untukku masuk ke universitas ternama di kota Jakarta. Gila, darimana aku dapat uang sebanyak itu? pikirku putus asa. Tapi Tuhan selalu punya kejutan. Siapa tahu, Dia telah menyiapkan karuniaNya jika  tak menyerah sekarang. Pada kenyataannya, selalu ada jalan, selalu ada kejutan di hidupku.
Namaku Kadir Tanjung. Dengan berbekal keyakinan aku beranikan mengantongi kertas itu di saku celana. Aku pulang dengan hati cemas. Ibu tidak boleh tahu. Beliau sudah bekerja keras banting tulang setiap hari untuk menghidupi keluarga. Sudah cukup beliau berdedikasi besar-besaran dalam hidupku. Aku harus mandiri. Sudah saatnya aku menapaki anak tangga kesuksesan dengan cucuran keringatku sendiri. Kuputuskan sebelum sampai di rumah, aku harus melamar pekerjaan. Apapun itu, walau pun sekedar tukang cuci piring, yang penting uangku cukup untuk biaya sekolah, dan jika bisa, menghidupi keluarga juga.
Di depan toko musik, kakiku berhenti sejenak. Bagai ayat yang turun dari langit, tulisan LOWONGAN KERJA di depan jendela tampak berseri-seri menyambut. Karunia Tuhan telah turun untukku. Bahkan sebelum sempat berpikir, aku sudah di dalam. Dengan ramah penjaga toko menyapa dan bertanya, “Mau cari apa?” Aku menarik napas, badan tegap. “Saya mau melamar kerja,” Mantap. Si penjaga toko mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rahangku mengeras. Sekilas ia tampak ragu, dan memang begitu adanya. “Saya bersedia menjadi tukang cuci atau kuli, apapun yang Anda butuhkan!” Alisnya menyatu. Gawat, hatinya keras. Ia masih tidak yakin. Keringat mengalir di dahiku. “Otot saya kuat, saya amat suka musik, pop, rock, metal, keroncong, dangdut koplo....” Apa lagi? “Musik adalah bagian dari hidup saya!” tambahku asal. Penjaga toko itu mengangkat sebelah alisnya lalu kelihatan menimbang-nimbang. “Kamu suka Rhoma Irama?” tanyanya. Aku berpikir sejenak. Bintang musik dangdut itu? Apa hubungannya? Apalah itu, aku tidak peduli. “Ya, saya suka,” Dia manggut-manggut, tersenyum penuh keyakinan. “Bawa surat lamaran?”

Dua minggu sudah aku habiskan waktu libur bekerja di toko musik, mengumpulkan uang walau cuma receh. Kuusahakan bekerja ekstra biar dapat uang tip. Bersih-bersih, menyapu, mengepel, mengelap etalase, menyapa setiap pengunjung yang lewat, memanggil tukang bakso untuk makan siang bos, dan sebagainya kukerjakan dengan sungguh-sungguh meski tidak diminta. Serasa menjadi superhero. Pagi jadi pengantar koran, siang jadi penjaga toko, malamnya menjadi guru ngaji anak-anak kampung dan terkadang kerja sampingan seperti membantu ibu RT mencari kecoak yang buron di rumahnya.
Hari ini kuputuskan memecah celengan ayam jago hasil tabunganku selama SMA dan menggabungkannya dengan gaji kerja part-time sana-sini. Lalala, hatiku membuncah, perasaanku menari-nari. Pasti hasilnya tidak diragukan lagi. Bayangkan, Rudi dan Nyoman, kedua teman baikku itu, menceritakan betapa menyenangkannya liburan mereka bersama keluarga, mengunjungi Pasar Minggu, berenang dan berjemur di Pantai Pasir Putih sedangkan aku berenang di lautan keringatku sendiri!
Ibu menyuruhku duduk dan makan bersama dua adikku, Aji dan Sofia. “Kadir, makanlah dulu, ada soto babat kesukaanmu,” Sayang, aku harus menyangkalnya dengan sangat berat, namun rasa senang di hatiku lebih besar. Aku berlari kecil ke dalam kamar, mengambil celengan dan memecahkannya. Kuambil gajiku yang  berbungkus amplop sobekan bertali karet. Satu, dua, hitung dan kuitung, hitung berkali-kali. Tiga juta empat ratus empat  puluh tiga ribu dua ratus rupiah. Seketika, Zeus menyambarkan petirnya padaku dan tombak Poseidon menusuk tajam ke arah hatiku. Bayangan angka sebesar lima juta berkelebat dalam pikiran. Masih... kurang... 
Mukaku pucat. Lidahku pahit. Besok adalah hari terakhir dan masih kurang satu juta lima ratus lima puluh enam ribu delapan ratus lagi. Bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu dalam kurun waktu duapuluh empat jam? Mengutang dan menyembah-nyembah Pak Lurah yang terkenal kikir di kampungku? Kenapa tidak mencuri saja? Kalau begitu, menipu orang?
Bisikan syaiton datang bertubi-tubi.
Tok Tok.
Ibu mengetuk pintu. “Le, kok lama sekali? Nanti sotonya keburu dingin,” ucapnya lembut. Begitu melihatku yang lemas tak berselera, beliau masuk kemudian duduk di sebelahku di pinggir dipan, membelai rambutku. Ibu adalah orang yang baik dan lemah lembut. Tapi, sejujurnya  aku tidak ingin ibu masuk dan melihat berlembar-lembar uang receh yang kusebar di lantai.“Kenapa wajahmu pucat?” tanyanya. “Anu... Bukan..” Aku bingung menjelaskannya. Ibu tersenyum, “Kadir sedang ada masalah, kenapa ndak cerita saja pada Ibu?” Aku diam, tidak bisa menjawab. “Tenang, setiap masalah pasti ada solusinya. Asal Kadir tidak menyerah dan percaya Tuhan pasti memberi petunjuk,” Aku khusyuk mengkaji pembicaraan ibu barusan. “Ibu bangga Kadir sudah mau kerja, berusaha buat sekolah. Ibu tau Kadir sudah kerja keras setiap hari,” “Ibu sudah tahu?” Tanyaku lirih. Ibu tersenyum lagi. “Ibu tahu segalanya tentang Kadir. Ndak perlu sembunyi-sembunyi, Ibu tahu Kadir anak baik dan berbakti,”
Perlahan hati kecilku tersenyum, “Kadir percaya semua yang ibu ucapkan,” Ibu berhenti membelaiku. Beliau  berbalik dan mengambil sesuatu di saku dasternya. Beliau menyerahkan sebuah bungkusan putih. Aku menatap mata beliau. “Buat bayar sekolah,”­ ujarnya. Mendadak hujan tumpah melalui pelupuk mataku. Dengan segera kupeluk erat beliau. “Kadir belajar ya, biar jadi orang sukses. Jangan lupa berdoa, biar ilmunya barokah, ” pesannya. “Ibu percaya Kadir nantinya akan jadi orang yang berhasil.” Hujan di mataku berubah menjadi badai.
Ibu, tanpa beliau aku tak akan bisa maju sejauh ini. Jika aku tak punya Ibu berhati mulia seperti beliau, aku pasti rapuh. Bisa saja aku malah menyalahkan takdir dan pilih gantung diri di depan kamar Pak Lurah.
Tanpa Ibu, aku cuma buih di lautan.
=v=
Kadir Tanjung, namanya telah terukir dalam daftar para mahasiswa baru Universitas Indonesia dalam jurusan Kedokteran Gigi. Ajaran baru telah dimulai. Masa OSPEK sudah berlalu. Berbekal motivasi yang tinggi dari sang ibu dan sejumlah uang, Kadir berusaha membuka pintu kesuksesannya. Pintu yang berdebu, usang nan tua. Tapi melalui pintu itulah ia yakin masa depan yang cerah telah menantinya. Kadir bertemu orang-orang yang hebat. Diantaranya dua orang sahabat bernama Gio dan Mahmud yang bersedia menemaninya dalam hujan dan petang.
=v=
Setiap akan masuk kelas, kami harus naik turun tangga fakultas. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ada yang ganjil di sana.
“Lihat ruang kosong di bawah tangga?” tanyaku pada dua sahabatku. Mereka menoleh pada tempat yang kumaksud. “Memang kenapa? Kita selalu lewat sini,” jawab Gio. Mahmud bergidik, “Jangan-jangan kemampuan indra keenammu muncul?” Aku menggeleng, “Bukan. Apa kalian tidak merasa aneh?” “Apa yang aneh?” tanya mereka, penasaran. “Jika ada tempat kosong begitu di kampus kita dan tidak dimanfaatkan, itu namanya mubazir,” jawabku. Kami diam, berpikir. “Bagaimana kalau kita buat usaha di sana?” celetuk Mahmud. Aku dan Gio berteriak-teriak girang memuja-muji kecerdasan Mahmud. Tapi, usaha apa?
“Makanan, itu kebutuhan pokok manusia,”
“Tapi tempatnya terlalu kecil kalau untuk berjualan makanan,”
Tiba-tiba handphone Gio berbunyi. Sms masuk. Gio membacanya. Ia menepuk dahinya, “Aku lupa menjilid dan fotokopi tugas makalah buat kelas siang” “Pergi saja ke ruang dosen, di sana ada tempat fotokopian,” usulku. Gio terlihat enggan lalu berbisik, “aku tidak mau jadi bulan-bulanan, kalian tahu aku ada masalah dengan dosen baru itu.” Kami menghela nafas. Gio pernah menggoda seorang dosen baru yang ternyata ayahnya bekerja  di sini juga. Begitu tahu Gio hanya main-main, si Bapak menjadi murka dan jadilah Gio menjadi bahan gunjingan sana-sini. “Kalau begitu kau harus cari fotokopian terdekat. Sudah hampir jam 10,” kata Mahmud. Kami memutuskan untuk pergi ke fakultas sebelah.
“Sebaiknya bangun mesin fotokopi di sana. Sejak mesin fotokopi fakultasmu rusak, fotokopian di sini tidak pernah sepi pengunjung,” kata seorang mahasiswa yang mengantri di belakang kami, tampak terburu-buru dan kesal. Aku positif menanggapinya. Brilian. Kenapa tidak pernah terpikirkan?
Seminggu kemudian, setelah melalui proses yang panjang, usaha fotokopi kami berjalan. Perlahan-lahan, kami mengembangkan usahanya, buku kuliah stensilan, dan alat-alat tulis. Mahmud membawa kue-kue dan makanan dari rumah dan dijual di sana. Gio menjual kaos yang motifnya didesain sendiri. Kami sering mempromosikannya pada penduduk kampus, dan jadilah kami sering mendapat pesanan dari teman-teman baru. Kami juga sering nongkrong bersama mahasiswa lain sambil berdiskusi mengenai apapun. Begitu aku mengatakan kalau modal yang kita punya sudah cukup untuk membuat rencana bisnis kedua: berjualan alat-alat kedokteran; mereka menanggapi dengan hati senang. Satu persatu mengusulkan tempat yang strategis, memberi semangat, menawarkan bantuan jika ada yang tidak bisa ditangani, dan lain-lain. Ah, bahagianya hidupku. Pikiran tentang keluargaku melayang-layang dalam pikiran. Aku bisa membantu ibu biar tidak terlalu repot. Beliau sudah tua dan ringkih, walau hatinya kuat. Aku bisa membelikan adik-adikku sepatu atau baju baru dan mengajak mereka ke Pasar Minggu.
Kami memutuskan membangun usaha di Senen Raya. Urusan teknisnya jadi cepat selesai karena dikerjakan sama-sama. Teman-teman sesama mahasiswa juga sering datang walau sekedar berbincang atau bermain. Semuanya terasa menyenangkan.
Namun aku lengah.
“Dir, kamu yakin mau meneruskan usaha ini?”
“Dihitung-hitung, dana kita sudah menipis.”
 Memang, kedua sahabatku benar. Kami sering mengadakan traktiran dan semacamnya karena usaha di kampus mendatangkan untung yang besar. Begitu mengetahui usaha kali ini tidak menguntungkan, kami memutuskan untuk menginap di rumah Gio untuk membahas rencana berikutnya, sekalian mengerjakan skripsi.
Ternyata tidak sampai seminggu kemudian, kami menutup pintu toko untuk selamanya. Usaha ini tidak bisa berjalan lagi. Kami menderita kerugian. Mahmud juga mulai mempertanyakan masa depannya, terus melakukan hobinya yang sangat berbakat; melukis, atau bekerja sebagai pekerja tetap pabrik sementara sebelum ia bekerja sesuai bidang yang ditekuninya selama 4 tahun.
“Melukis hasilnya tidak pasti, Dir. Kasihan orang tuaku menunggu terlalu lama dan akupun tidak yakin,” katanya waktu curhat padaku. Baru kali ini kulihat teman baikku itu begitu sedih. Sebenarnya aku sendiri harus memikirkan keluarga. Belum ada jasa apapun yang kuberikan untuk mereka. Mendadak perasaanku tidak enak.
Tiba-tiba telepon Gio berdering. Gio mengangkatnya. Mukanya berubah serius. Ia mendengarkan dengan hati-hati dan waspada. Gio memanggilku. Ia menyerahkan gagang teleponnya. “Dari adikmu.” Berdebar-debar, aku menerimanya.
“Halo...?” ucapku.
Aku sudah merasa tidak beres ketika Aji menelepon dan lebih kacau lagi perasaanku ketika mendengar suaranya yang goyah dan kering. Aku bisa mendengar Sofi menangis di sana.
“Ibu sakit, Mas,” katanya. Aku membeku. “Dari kemarin ingin ketemu, tapi Mas Kadir ndak pulang-pulang.” Ternyata seharian kemarin ibu tidak mau makan karena khawatir. Ibu tahu segalanya tentang Kadir. Aku mengingat kata-kata beliau waktu itu. Ibu tahu aku punya masalah di kampus dan beliau jadi kepikiran. Ini salahku.
Aku cepat-cepat pulang dan menyusul adik-adikku, lalu pergi ke rumah sakit diantar supir Pak Lurah. Selama perjalanan, aku was-was, membayangkan bagaimana keadaan ibu sekarang. Tapi hal itu justru membuatku berkeringat dingin dan mual. Berbagai kalimat berpola macam “Bagaimana kalau....?” bermunculan. Dokter sudah mengusahakan yang terbaik, tapi... Aku menampar pipiku. Apa sih, yang kupikirkan? Di saat begini aku tidak boleh terpuruk, aku harus berdoa, memohon pertolonganNya. Sesuai apa yang selalu ibu amanatkan padaku. Tuhan adalah sebaik-baik tempat untuk memohon dan kembali.
Mobil berhenti di tempat parkir rumah sakit. Aku segera turun dan mencari ruang rawat ibu. Di depan pintu, aku hampir menabrak seorang dokter.
“Luka lambung,” jawab dokter. “Ibu Anda harus segera diobati. Sementara ini beliau sudah  diberi obat dan bisa tidur.”
Aku menghembuskan nafas lega. Berkali-kali kuucapkan rasa syukur. Penyakit ibu masih bisa diobati. “Berapa harga obatnya, dok?”

Aku kembali bekerja sebagai pekerja sambilan dan sampingan. Aku sudah bicara dengan ibu dan meminta maaf, sungkem. Seharian aku duduk di samping beliau dan melayaninya. Justru di saat beginilah aku merasa senang bisa berada di samping beliau dan bisa membantu. Keadaan ibu semakin membaik.
Di kamarku, aku menunduk. Berpikir sebentar. Aku masih harus menjalankan bisnis bersama Gio dan Mahmud.
Benda yang sering dipakai dan dibutuhkan orang... Benda yang unik dan praktis...
Kubaca tulisan di tali sandal jepitku: SKY WAY.
Sky... Way...S dari sepak, sandal, sepatu, Way .. jalan. Sepatu sandal, sepatu sekolah, sepatu jalan-jalan.. Ah, sepatu! Usaha sepatu, sepatu lukis motif batik! Dengan begini bakat Mahmud pun tak akan sia-sia dan kami bisa berbisnis bersama. Gio ahli mengenai komputerisasi dan sebangsanya, dia bisa mempromosikan usaha ini ke berbagai pihak, luar kota, atau luar provinsi. Dengan begitu, banyak komunikasi, banyak jejaring, maka banyak peminatnya, mungkin Pak Presiden juga bakal membelinya. Aku cepat-cepat berganti baju dan pergi ke kampus, tempat sahabatku menunggu ide super cemerlang ini.
“Sepatu?” Gio melongo. “Kenapa sepatu?” Mahmud menimpali. Aku menjelaskan panjang lebar mengenai ide-ide yang dengan gampangnya muncul di kepala. Cukup sudah kukuras isi kepalaku itu. Gio mengangguk-angguk seperti beo dan mata Mahmud berbinar, terharu. “Kapan kita mulai? Darimana modalnya?” tanya Gio. Sinar di mata Mahmud meredup. “Kita baru bangkrut,” tambah Gio. “Kerja sambilan,” ucapku sambil mengenang masa-masa ketika aku bekerja mati-matian supaya bisa masuk di Ahli Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Mahmud sumringah. Gio mengangguk-angguk, “Jadi, kita akan cari kerja sepulang kampus.” katanya mantap.
Akhirnya kami bekerja bahu membahu, hingga bisa membangun modal untuk usaha sepatu dan  sandal versi kita bertiga. Kami membangun PT Pariarti Shindutama. Memang pada awalnya belum ada pengunjung yang tertarik. Tapi kita terus berusaha dan enggan berhenti. Sampai suatu hari pendapatan kita tidak sebanding. Apa usaha ini akan berhenti?
Man, kita tidak bisa begini terus! We need an advice!” teriak Gio tiba-tiba. Aku dan Mahmud yang sibuk bermain kartu remi untuk sekedar melepas stres, menoleh ke arahnya. “Kenapa Gi?” tanyaku. “Ya. Kenapa kau mendadak pakai bahasa bule?”ujar Mahmud. Gio memandangi kami satu persatu. “Tujuan kita di sini adalah bisnis, bukan duduk sambil main kartu remi!” jawabnya. Dia mengangkat menunjuk-nunjuk laptopnya. “Kalian tahu, apa yang aku lakukan sedari tadi?” Kami menggeleng. “Online chat, kalian tahu dengan siapa?”tanyanya lagi. Kami menggeleng lagi. “Orang Italia.” Kami ber-woooh ria. Gio menggebrak meja. Dia tersenyum, “Kalian tahu apa yang kami bicarakan?” Kami menggeleng. “Our beloved state, Indonesia. Dia suka wayang dan tari-tari tradisional.” Kami terkagum-kagum. Tiba-tiba suatu ide muncul di kepalaku. “Gi, kita promosikan produk kita!” Kami bersorak. Seterusnya, kegiatan kami adalah chat, memfoto produk, dan upload. Begitu seterusnya. Seharian itu kami mendapat teman 5 orang asing yang kelihatan tertarik dengan budaya Indonesia. Inilah kekuatan internet dan jejaring yang sebenarnya!
Yang lebih mengejutkan, sebulan kemudian setelah kami mulai putus asa atas usaha ini, orang Italia itu menghubungi kami lagi. Ia berkata: You have awesome products. I’d love to buy 12.000 pair!

Kejutan Tuhan datang menimpa kami.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Categories: Share